[4] Patah Hati Terbesar

4.2K 981 140
                                    

- Ketika kamu memiliki seribu alasan untuk menangis, maka setidaknya kamu harus memiliki satu alasan untuk tersenyum -

🍁🍁🍁🍁🍁

Ara bersimpuh lemas begitu netranya melihat tubuh Sang Papa yang telah terbaring tak bernyawa di ruang tamu. Dadanya tiba-tiba terasa sesak, impian untuk memberi kabar bahagia tentang pernikahannya seketika sirna. Ara tak menyangka takdir Tuhan akan datang secepat ini

Sekali lagi, Ara kehilangan alasan untuk hidup.

"Pa..." Ara meneteskan air mata tatkala membuka kain yang menutupi wajah Sang Papa. Terlihat sangat jelas sekali wajah pucat Sang Papa yang tertidur damai untuk selamanya. "Papa... Bangun..."

Beberapa tetangga yang berbela sungkawa mulai berdatangan untuk memberikan doa

Ara sejenak mendongak pelan menatap Sang Mama yang kini hanya sanggup bersandar lemas dibawah laci sambil memeluk foto terakhir suaminya. Riris memandang kosong dengan pipi yang sudah sembab dan basah. Ia sama sekali tak menghiraukan beberapa pelukan dari tetangga yang turut berduka cita dan memberinya semangat.

Ara mulai menangis terisak dan kembali mencium lama kening Sang Papa.

"Pa... Papa bilang, Papa mau lihat Ara nikah. Kenapa Papa bohongin Ara? Kenapa Papa ninggalin Ara sama Muna sendirian lagi?" Ucapan Ara terhenti ketika dadanya kembali terasa sesak. "Papa... jahat..."

"Kak Ara..."

Azka yang duduk disamping Ara perlahan menyandarkan kepala Ara di bahunya. Tangan Azka menyeka air mata Ara yang terus mengalir membasahi pipi.

Azka pun memeluk Ara ke dalam dekapannya.

Ara seketika menangis terisak

"S-Sakit, Az..." lirih Ara. Napasnya tersengal-sengal.

Azka mengelus pelan surai rambut Ara dan langsung memeluknya erat.

"Azka disini kak... Mulai sekarang Azka bakal jagain kakak. Azka gak akan pernah ninggalin kakak."

***

Satu minggu setelah kepergian Sang Papa, Ara mengurung dirinya di dalam kamar. Tak ada satupun yang bisa membujuknya keluar dari sana, bahkan Azka sekalipun.

Sebagai seorang Ibu, Riris berusaha tegar dan perlahan mengikhlaskan kepergian suaminya. Riris sadar, hidup dan mati seseorang ada di tangan Tuhan, dan ia tak bisa mengubah suratan takdir tersebut. Meskipun berat rasanya ditinggalkan oleh orang yang dicintai, namun Riris berusaha sekuat tenaga menjalani semuanya. Karena Riris tau, masih ada dua anaknya yang  harus ia jaga dan ia nafkahi sekarang.

TOK TOK

Riris mengetuk pelan pintu kamar Ara. Namun, tak ada sahutan sedikit pun.

"Ara... keluar sayang... kamu belum makan dari kemarin lho," ujar Riris.

Lagi-lagi hanya keheningan yang ia dapatkan. Riris pun menghela napasnya dan berjongkok meletakkan senampan makanan itu di depan pintu.

"Mama taruh makanannya ya di depan pintu," ucap Riris. "Ara harus makan ya, nak. Jangan sampe sakit. Sekarang cuman Ara sama Muna yang Mama punya."

Tak ada sahutan, Riris pun berpaling turun ke lantai bawah. Suasana rumah saat ini menjadi sangat berbeda. Seakan-akan kebahagiaan telah sirna dan hanya ada kesedihan yang mendalam. Tak ada lagi pemandangan keceriaan rumah di pagi hari, bincang tawa di meja makan sewaktu sarapan, dan rengekan Muna yang manja tiap kali Sang Papa pulang dari dinas.

Kakak Tingkat ✔ [COMPLETED]Where stories live. Discover now