[22] Badai Akhirnya Datang

4.3K 940 421
                                    

Ara menarik napas panjang dan spontan terbangun ketika lantunan adzan Maghrib berkumandang dari layar TV yang masih menyala.

Ara termenung sejenak, menatap dalam diam langit-langit dapur yang tadinya gelap gulita, kini berubah menjadi putih kembali.

Perlahan Ara mengangkat tangannya yang sudah berlumuran darah, lalu menggerakkan jarinya sekilas. Syukurlah, dia masih bisa merasakan sendi-sendinya itu.

Ara langsung menangis dan memohon syukur pada Sang Kuasa karena doa terakhirnya telah didengar.

Ya Allah... Terima kasih...

Ara berusaha sekuat tenaga untuk bangkit. Badannya masih terasa lemas, namun untung saja rasa sakit di kepalanya berangsur menghilang.

Sejenak Ara menatap pakaiannya dan lantai dapur yang sudah dipenuhi bercak darah. Cukup banyak hingga berhasil membuat wajah Ara pucat karena anemia.

Buru-buru Ara mengelap bekas darah di lantai itu dan beranjak pergi mandi untuk membersihkan diri sebelum Azka pulang.

Ara sudah berjanji pada Tuhan, dia akan pergi ke dokter hari ini. Apapun hasilnya, Ara akan mencoba menerima. Tuhan sudah sangat baik memberinya kesempatan kedua, dan Ara tak berniat melawan takdir-Nya lagi.

***

Ara menatap dalam diam hasil foto rontgen dan CT scan yang terpampang nyata pada layar di sampingnya. Terlihat sangat jelas sekali sebagian sel kanker itu hampir berhasil menguasai organ tubuhnya, bahkan mulai menyebar sampai ke otak.

"Penyakitmu ini... kenapa baru diperiksakan sekarang?"

Seorang Dokter berkacamata terlihat menatap Ara dengan pandangan trenyuh. Ia menyerahkan beberapa lembar dokumen hasil pemeriksaan tersebut ke hadapan Ara, namun Ara masih terdiam memandangi foto rontgen di layar.

Sebulir air mata perlahan menetes ke pipi Ara begitu netranya memberanikan diri melihat hasil pemeriksaan di dokumen itu.

"Makin parah ya, Dok?" lirih Ara, suaranya terdengar sangat bergetar ketakutan.

Dokter itu menghela napas pelan, lalu melepas kacamatanya. Sesaat, pandangan beliau terfokus pada hasil CT Scan tubuh Ara di layar.

"Leukemic meningitis, salah satu penyakit langka. Termasuk jenis leukemia, namun lebih mematikan. Sel kanker di tubuhmu telah menyebar ke meninges (lapisan tipis jaringan yang menutupi dan melindungi otak serta sumsum tulang belakang). Kanker ini menyebabkan bagian meninges meradang sehingga menimbulkan meningitis. Dari gejalamu yang selalu mimisan, pusing, demam, jantung berdenyut tak teratur, dan kelelahan bisa jadi tolak ukur diagnosa dari penyakit ini," ujar Dokter itu.

Ara terdiam, tak lagi bisa berkata-kata. Lidahnya serasa kelu untuk sekedar menyangkal fakta penyakit itu bersarang di tubuhnya.

Dokter itu meraih lagi dokumen di hadapan Ara, dan membacanya sekilas.

"Saya tahu kamu sudah paham tentang riwayat leukemia yang merupakan penyakit genetik, namun untuk meningitis sendiri disebabkan dari infeksi virus. Gejalanya bisa makin parah karena faktor kelelahan dan kebiasaan buruk dari si penderita. Tubuhmu sudah kelelahan, tapi kamu terus memforsirnya sehingga virus itu semakin mudah menguasai tubuhmu."

Ara menunduk dalam diam. Inilah kenyataan yang dia takutkan selama ini, mendengar sekali lagi vonis dari Dokter yang membuatnya kehilangan semangat untuk hidup.

Ara menyeka pelan air mata di pipinya. "Masih bisa sembuh kan, Dok?"

"Bisa, tapi kemungkinannya kecil. Apalagi penyakit ini sudah menyebar dan cukup parah. Saya tak bisa menjamin tubuhmu masih mampu untuk menahan efek samping dari kemoterapi," jawab Dokter itu, lalu sedikit menunduk dan kembali menatap Ara dengan pandangan memberi harapan.

Kakak Tingkat ✔ [COMPLETED]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu