21. Perasaan Yang Tidak Tersalurkan

1.1K 207 25
                                    





Rose masih melamun di ruang tunggu dengan terus meremas kedua jemarinya, kakinya tanpa sadar terus bergetar panik. Pikirannya masih berkelana jauh, kembali mengingat kata-kata Manda yang tadi sempat wanita itu ucapkan sebelum digelandang pergi oleh petugas kepolisian.

"Hidup kalian enggak akan pernah tenang, karena gue benci milik gue diambil orang lain."

Kalimat itu seperti memiliki kekuatan menyakiti yang semakin membuat dada Rose terasa sesak. Dia beranggapan, jika kesialan yang selama ini terjadi adalah karena dampak dari hubungannya dengan Ian. Andai ia tidak kepo dan suka ikut campur, mungkin Rose tidak akan pernah ditabrak hingga patah tulang. 

Andai mereka tidak memutuskan menikah, mungkin Ian tidak akan pernah merasakan kesakitan akibat keroyokan gila yang Manda lakukan. Mungkin, hubungannya dan Ian memang tidak pernah direstui oleh alam.

Suara langkah kaki yang terburu-buru terdengar mendekat, Rose segera menaikkan pandangannya dan kembali melinangkan air mata. Diujung lorong, Abah dan Umi berlarian dengan wajah panik, Umi yang pertama berteriak histeris dan memeluk Rose dengan erat.

Keduanya menangis bersama, padahal biasanya umi selalu julid dan suka ngomel pada Rose. Namun, berulang kali umi mengatakan kalimat yang sama. "Syukurlah kamu enggak terluka."

Mendengar itu, Rose jelas semakin dibanjiri air mata, mulutnya terus melirih. "Ian, Ian, umi ..."

Umi menjauhkan diri, menatap wajah Rose dengan lara, dan mengusap air mata Rose dengan halus dan keibuan. "Dia pasti akan baik-baik saja nak. Kamu terus berdoa saja ya?"

Usapan di puncuk kepala, yang berasal dari tangan hangat abah, membuat air mata Rose kembali luruh. Dia beralih memeluk abah, dan pikirannya kembali kusut kala membayangkan jika Ian tidak akan selamat. Lelaki itu mengeluarkan banyak darah, badannya bahkan babak belur, karena dengan mata kepalanya sendiri, Rose melihat Ian diinjak-injak dengan tidak manusiawi.

Satu kalimat yang terus dia batinkan. "Ian tidak akan pergi secepat itu kan?" Memikirkan itu, Rose kembali menangis.

Belasan menit berlalu, Rose sudah semakin tenang walau sesegukan sisa tangisnya tak kunjung hilang. Umi sudah pergi mencari kantin, sekadar membelikan air agar Rose bisa lebih tenang. Hingga lirihan abah membuat Rose menoleh dengan keheranan.

"Padahal abah sudah melarang Brian pergi."

Wajah abah terlihat sangat bersalah, membuat Rose perlahan menangkup punggung tangan abah yang sudah mulai kendur karena dimakan usia.

"Abah meminta Brian melupakan masa lalunya yang buruk, dendam kecelakaan kamu dan wanita itu, tapi-"

"Tunggu!" Potong Rose yang tak kuasa menahan diri untuk diam. "Wanita siapa? Ian udah cerita tentang Manda?"

Abah mengangguk, "Brian sudah ceritakan semuanya tanpa ditutupi, dan abah meminta dia meninggalkan semua masa lalunya. Tapi, Manda menelepon Ian, mengancam akan mencelakai kamu kalau dia tidak datang. Abah yakin kamu pasti baik-baik saja, tapi Brian ngotot mau selesaikan masalah dia sama Manda dan mulai kehidupan barunya sama kamu. Brian mau menjauhkan Manda dari kamu sepenuhnya. Dia juga ceritakan beberapa macam tindakan gila manda yang mencoba kembali mencelakai kamu dek, tapi untung Brian adalah suami siaga, yang selalu menjaga kamu dalam diam."

Mata Rose perlahan menjadi semakin sayu. Baginya, Ian adalah orang paling sepele dan acuh, dia bahkan tidak pernah beranggapan jika lelaki itu bisa diajak serius. Karena, sebagaimanapun dia mengajak Ian mengobrol dengan serius, lelaki itu selalu menanggapi dengan guyonan saja. 

Jangankan serius, Rose sering beranggapan jika dia sama sekali tidak memiliki figur suami yang mengayomi. Namun, mendengar penjelasan abah, Rose menjadi malu. Ternyata Ian selalu menjaganya dari Manda, tanpa sepengetahuannya.

ℍ𝕚𝕞 (ℝ𝕠𝕤é 𝕏 ℂ𝕙𝕣𝕚𝕤𝕥𝕚𝕒𝕟 𝕐𝕦)Where stories live. Discover now