24. Berkelana Mencari Arti Cinta

1.4K 202 11
                                    



Sepertinya, Ian memang sangat menyukai tanaman bonsainya. Pagi ini, dengan bertelanjang dada serta mememerkan tubuh berbalut tato, Ian memangkas daun pada ranting tanaman bonsai dengan siulan. Suara musik yang berasal dari ponselnya, mengiringi pergerakan Ian menari-nari kecil, dia mulai berlagak seolah sedang memeluk gitar dan memainkannya dengan sok keren.

Ponsel di atas lantai pekarangan terus meraung dengan musik bergenre hip-hop yang dibarengi dengan sedikit rap yang memang sopan saat masuk ke dalam telinga. Rose hanya meringis malu saat ada beberapa ibu komplek yang lewat lalu berbisik-bisik ria dengan senyuman dan terang-terangan menatap Ian.

Wajar saya, sang suami sedang mengumar tubuh atletisnya yang liat serta dipenuhi tatto. Entah pemandangan yang menggoda iman, atau menggoda mulut untuk menggunjingkannya, karena tatto bukanlah sesuatu yang bisa diterima dengan maklum oleh sebagian orang.

"Belanja, Tan?" Begitu sapa Ian dengan santai.

Para ibu-ibu yang memang sedang menenteng plastik belanjaan yang mengintip dari dalamnya beberapa helai sayuran, pun membalas pertanyaan Ian dengan senyuman ramah. "Iya mas, lagi berkebun ya?"

"Iya, hehe." Untuk kesekian kalinya, Ian menanggapi pertanyaan ibu-ibu dengan santai dan ramah. Sejak 10 menit lalu Rose duduk di kursi pekarangan, sudah ada dua gerombolan ibu-ibu yang di sapa Ian. Yang anehnya, tumben sekali banyak ibu wira-wiri, biasanya kan komplek ini sangat sepi.

Akhirnya Rose memilih bangkit, menunggu Ian peka, terasa seperti mustahil, lelaki itu bahkan belum menoleh kearahnya barang sekali. Padahal, malam tadi Ian sudah sesumbar akan mengantarnya.

"Gue berangkat dulu."

Hari ini, Rose memang sudah memiliki janji dengan pemilik perusahaan tempat di mana dia akan melakukan kerja praktik. Pembicaraan melalui daring, tentu tidak dapat mengupas tuntas segala permasalahan yang akan dia pecahkan menjadi sebuah sistem yang akan Rose buat. Maka, tidak ada pilihan lain selain datang langsung, sekaligus mengenal para pemakai program nantinya.

Dengan keringat yang membuat rambut ikal milik Ian basah, lelaki itu menoleh dengan mata terbuka lebar. Memindai penampilan Rose yang selalu sama. Kaus putih sederhana, jas tersampir di pundak--sekadar formalitas--serta celana denim yang membalut kaki. Gayanya memang jarang berubah, definisi terlalu nyaman dan enggan berpaling. 

Namun, keduanya memiliki gaya yang hampir serupa. Jika lemari Ian dipenuhi dengan kaus dan pakaian serba hitam, maka Rose cederung mengoleksi warna putih, dengan model yang tak jauh berbeda.

Begitulah Rose, sekali menyukai dan nyaman, dia memilih untuk enggan berpaling. Cintanya pada Candra pun tergolong cukup lama, bertahan hingga dia masuk Universitas dan mengenal Dwi. Pada Dwi, dia bahkan masih menyimpan rasa, dan enggan melenyapkannya. Perihal terbalas atau tidak, bukan masalah untuk Rose.

Membicarakan tentang Dwi, Rose masih dibuat penasaran dengan pesan dari Dwi yang sudah di hapus. Karena semalam dia dibuat panas dingin oleh Ian, hanya karena ciuman, dan berakhir membuatnya berlari ke dalam kamar karena malu. Rose tidak sempat memeriksa ponselnya yang tergeletak di sofa, baru subuh ia turun untuk mengambilnya. Namun terdapat pesan dari Dwi yang sudah di tarik dan membuatnya mati penasaran. Saat ditanyakan, Dwi membalasnya sebagai salah kirim.

"Bentar, gue ganti baju dulu."

Raut wajah Rose sudah bersiap menolak, dia bahkan sudah mengirim pesan pada Surya untuk menjemputnya sejak dua menit lalu. Walau Surya tidak mengambil tempat magang yang sama sepertinya, tapi Surya cinta uang, maka kapanpun dan di manapun dibutuhkan--asal ada uangnya--pasti Surya siap. Namun, Ian lebih dulu menekan puncuk kepala Rose dengan wajah gemas.

ℍ𝕚𝕞 (ℝ𝕠𝕤é 𝕏 ℂ𝕙𝕣𝕚𝕤𝕥𝕚𝕒𝕟 𝕐𝕦)Where stories live. Discover now