29. Memaafkan Itu Berat

1.1K 168 21
                                    





"Dengerin gue dulu!"

Ian menyentak lengan Rose, menarik paksa hingga membuat wanita itu menabrak badannya yang sekeras batu. Mencengkram kedua lengan Rose yang terus memberontak, Ian mengatupkan rahangnya, marah karena melihat istrinya beruraian air mata.

"Gue nggak mungkin bohongin lo, Rose. Nggak mungkin!"

"Sekarang aja lo bohong, sialan!" Pekik Rose, memberontak dengan raungan.

Dia hanya kecewa, pria yang dia percayai bahkan tega membohonginya. Entah Rose yang terlalu naif, atau Ian yang memang pandai membohonginya dengan rapi. Seharusnya Rose terus curiga, dia bahkan banyak mencari tahu di internet, jika seorang pengguna narkotika aktif, tidak akan mungkin lepas dengan mudah. Selama ini dia terbutakan, pada sosok Ian yang nampak normal dan menyihirnya dengan cinta.

"Dari awal lo bohongin gue, tentang Manda lo bahkan bohong, Ian. Lo nggak pernah terbuka dan berkata jujur tentang dia dan statusnya." Suara Rose melemah, sakit rasanya dikecewakan, hingga dadanya terasa sesak. "Kalau lo emang enggak pernah bohong, katakan! Gimana caranya lo bisa benar-benar lepas tanpa bantuan pusat rehabilitasi? Katakan!"

Amarahnya kembali pecah, memukul dada Ian yang hanya diam mematung tak bersuara. Rose tertawa, dengan linangan air mata yang tak berkesudahan. Menunjuk wajah Ian, Rose menggeram marah. "Jangan pernah temui gue lagi, atau gue bakal laporin lo ke pihak berwenang!"

Ancaman itu menyurutkan nyali Ian, pria itu bahkan tidak lagi menahan Rose, ataupun mengejarnya. Keterdiaman Ian yang bahkan tidak bisa menjawab tuduhan Rose, seperti bumerang yang dia lempar namun kembali menyakitinya. Keterdiaman Ian membuat hati Rose hancur, satu-satunya kata yang terus bergaung di pikirannya, adalah perpisahan. Dia mau berpisah dari Ian, apapun yang terjadi.




 Dia mau berpisah dari Ian, apapun yang terjadi

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.



Begitu pulang ke rumah abah, Rose segera berlari menuju kamarnya tanpa memedulikan omelan umi yang menanyakan maksud kedatangannya. Rose menguci diri, menenggelamkan wajahnya pada bantal yang menjadi payung untuk derasnya air matanya yang terus saja mengalir.

Dia hanya merasa bodoh, semudah itu percaya sedangkan sedari awal terus memasang benteng pertahanan yang cukup tinggi. Ke mana perginya keteguhan hati, kebenciannya pada Ian, dan sikap galaknya. Rose bahkan baru menyadari, jika dia sudah terlalu banyak berubah dan lebih longgar untuk kehadiran Ian disekitarnya.

Lelah menangis, dia berakhir terlelap dan bangun saat langit sudah gelap, itupun karena saura ketukan pintu yang terus mengganggu tidurnya. Adzan Magrib sudah berkumandang, lalu teriakan-teriakan dari umi pun masih terdengar sayup.

Suara gebrakan membuat Rose bangkit dengan terkejut, pintu kamarnya didobrak paksa, dengan sosok bang Candra yang terdorong masuk ke dalam kamar. Raut wajahnya terlihat khawatir, dia mencarai saklar lampu dan menyalakannya, membuat kamar gelap gulita Rose menjadi terang-benderang.

ℍ𝕚𝕞 (ℝ𝕠𝕤é 𝕏 ℂ𝕙𝕣𝕚𝕤𝕥𝕚𝕒𝕟 𝕐𝕦)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant