5. I Want a Strawberry Ice Cream

1.6K 212 77
                                    

Sebelum baca alangkah baiknya divote dulu biar nggak lupa hehehe, ayok divote terus jangan lupa nanti komentarnya juga yah supaya akunya semangat lanjutinnya, akhir-akhir ini aku merasa down dan insecure sama ceritaku :(

Buat kalian yang mau ngasih apresiasi dalam bentuk materi, bisa kasih tip lewat laman trakteer aku yah di trakteer.id/sonyatoho terima kasih

selamat membaca :)

~...~

Suasana rumah itu nampak kelam dan suram. Suara tangisan pun melatar belakangi hari berkabung tersebut. Satu per satu orang dengan pakaian serba hitam datang untuk memberikan penghormatan terakhir.

Arin dan sang ibu duduk di dekat meja persembahan. Hari itu ayah Arin telah tiada akibat kecelakaan mobil, meninggalkan Arin dan juga ibunya. Arin tidak menangis tapi ia sedih melihat banyak orang yang berderai air mata termasuk ibunya.

"Mae, kenapa semua orang menangis? Arin ingin bertemu Pho, mana Pho?" ucapan Arin yang polos membuat tangisan sang ibu serta orang-orang di sekitar semakin keras saja, membuat Arin semakin bingung.

"Sayang, Pho sudah pergi untuk selamanya." Seorang bibi memberitahu Arin dengan penuh kehati-hatian. Arin sedih mendengarnya, kalau sang ayah pergi selamanya bukankah itu artinya ia tidak akan lagi bertemu dengannya?

"Arin!" anak laki-laki yang merupakan sahabat dekat sekaligus tetangga Arin memanggil Arin, membuat anak laki-laki imut itu berlari menghampirinya.

"Jangan sedih yah. Aku akan selalu menemanimu." kata bocah laki-laki itu sambil mengusap kepala Arin.

Arin hanya mengangguk, wajahnya sudah merengut. "Katanya Pho pergi untuk selamanya." Arin mati-matian menahan tangisnya tapi akhirnya ia merengek dengan keras.

Bocah laki-laki itu lalu memeluknya dengan erat, menenangkan Arin sambil mengusap punggung dan kepalanya. "Arin, aku berjanji akan selalu bersamamu. Tidak apa-apa, kau masih punya aku."

"Jangan pergi."

"Iya aku tidak akan pergi." bocah itu lalu melepaskan pelukannya kemudian menyeka basah di wajah Arin. "Ini, aku akan memberikanmu ini. Aku akan menghadiahkanmu gelang ini. Kata Mae, gelang ini akan selalu melindungimu." ia melepaskan gelang dari batu obsidian hitam di pergelangan tangannya dan memakaikannya pada tangan Arin.

"Terima kasih," ucap Arin di sela isak tangisnya.

.

.

.

Mew turun dari lantai dua rumahnya dengan penampilan semi formalnya yang sudah rapi. Hari itu pilihan berpakaiannya jatuh pada kaus v-neck hitam yang dipadukan dengan blazer, celana chino dan loafers yang juga berwarna senada. Ia menyapa ibu dan juga adiknya di ruang makan, bersiap untuk sarapan.

"Jom bilang kau sudah punya pacar," ucap ibu Mew tepat ketika pria itu baru saja mendaratkan pantatnya di atas kursi.

Mew mendelik galak ke arah adik perempuannya yang lantas dibalas dengan cibiran, membuat Mew memutar bola matanya sambil menghela napas. "Dasar tukang adu," decih Mew, namun Jom hanya mengedikkan bahu tak acuh.

"Jadi kapan kau akan mengenalkannya padaku?" sambung sang ibu dengan mata memerangkap Mew. Binar di mata sang ibu nampak berkilauan, antusias menanti cerita Mew.

I Want You to the BoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang