8. I Want to Know the Truth 2

1.4K 184 20
                                    

WARNING! SMUT, 18+ SCENE

NOTE: AYOK DIVOTE DULU, YG NGGAK VOTE NGGAK DISAYANG MG (canda zheyeng), ada ralat untuk waktu kematian ayah Mew yang tadinya 16 tahun lalu diganti jadi 14 tahun lalu untuk mencocokkan waktu (sudah diganti juga di chapter sebelumnya), maaf karena aku ternyata salah perhitungan.

happy reading^^

~...~

Tak gentar Gulf duduk menghadap ibu Mew yang berada di seberangnya. Hatinya berdentum kencang namun nyalinya tak surut sejengkalpun. Mew yang duduk di samping kekasihnya hanya bisa menatap mereka bergantian dengan gugup. Ia seperti berada di ambang peperangan. Adegan-adegan seperti ini hanya bisa ia lihat di drama-drama televisi, tidak disangkanya Mew kini mengalaminya sendiri.

"Kenapa? Kau mau bicara apa?" pertanyaan ibu Mew menjadi pembuka percakapan mereka. Ia tatap tajam laki-laki yang mencuri hati puteranya tersebut, sorotnya sedingin es yang sanggup memberi Gulf intimidasi. Mengajaknya bicara seperti ini, Gulf jelas punya keberanian.

Gulf lantas tersenyum, dengan tenang akhirnya ia mulai memberikan penuturan. "Aku tidak akan basa-basi. Nyonya, kau boleh tidak suka atau benci pada keluargaku tapi aku merasa aku tidak berhak untuk dibenci juga. Kalau memang keluargaku bersalah terutama atas kematian suami Anda, aku rasa bukan kepadaku Anda melimpahkan amarah. Sangat tidak adil jika Anda menyalahkanku atas kesalahan yang tidak kulakukan.

"Perlu Anda ketahui, aku juga tidak memiliki hubungan darah dengan Traipipattanapong. Ibuku adalah istri kedua Sunny Sunwanmethanon, saat ibuku meninggal, praktis aku sudah bukan siapa-siapa lagi bagi mereka, mereka juga tidak pernah menganggapkuu sebagai bagian dari mereka. Jadi, aku sama sekali tidak ada hubungannya jika memang keluarga itu terlibat dengan kasus yang suami Anda selidiki waktu itu."

Gulf memberi jeda pada ceritanya. Menerka-nerka reaksi ibu Mew yang hanya membisu sambil bersidekap, tak bisa ditebak. Ia pun mengembuskan napas pendek sebelum melanjutkan perkataannya. "Karena itu, aku tidak akan berpisah dengan Mew. Jangan minta kami untuk putus. Perasaanku padanya tulus. Nyonya, aku tahu aku bukan manusia sempurna, aku juga mengerti kekhawatiranmu tapi aku bukan orang jahat. Anda bisa percaya padaku."

Oh Mew rasanya ingin menangis saja mendengar ucapan kekasihnya. Ia terharu. Hatinya menghangat dan rasa bahagia itu terasa meletup-letup dalam hatinya. Di genggamnya tangan Gulf, membelainya dengan lembut. Saat CEO muda itu menoleh padanya, Mew menganugerahinya senyum terbaiknya. Memberikan kekuatan dan cinta yang ia sampaikan melalui udara.

"Mae, Gulf tidak salah apapun. Bukankah Mae menyukainya saat pertama kali bertemu waktu itu? Aku juga serius mencintainya. Kalau kau paksa kami berpisah, aku tidak tahu lagi di mana menemukan pasangan sepertinya. Kalau tidak dengannya, aku mungkin akan hidup melajang selamanya. Bukankah Mae tidak mau itu terjadi?" ucap Mew dengan sedikit kelakar, membuat Gulf diam-diam mengulum senyum.

Tatapan wanita paruh baya itu mulai melembut. Pernyataan Gulf yang terdengar sungguh-sungguh serta ungkapan cinta mereka membuatnya agak luluh. "Kalian membuatku terlihat seperti orang jahat. Aku pasti seperti ibu-ibu jahat yang ada dalam lakorn televisi."

"Mae, tentu saja tidak!" tukas Mew.

"Gulf, asal kau tahu aku masih belum tenang mempercayakan Mew padamu," kata ibu Mew.

"Mae, aku sudah bukan anak kecil lagi!" protes Mew. Duh, ia jadi terlihat seperti anak mamih.

Tapi sang ibu tak menghiraukan pekikan putranya. "Kalau kau menyakitinya, aku tidak akan pernah memaafkanmu dan jangan harap kau akan bertemu lagi dengannya," ancam wanita itu pada Gulf.

"Mae!"

"Diam, Mew! Kenapa kau menyela ucapanku terus?!" pekik Nyonya Jongcheveevat itu.

Gulf menyambut baik ucapan ibu Mew. Ia tersenyum sambil mengangguk. "Aku akan mengingatnya dengan baik, Nyonya."

I Want You to the BoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang