Waktu terasa cepat berlalu. Kania berdiri dihadapan Barra yang menggendong ransel di punggungnya bersama koper besar tepat disamping kakinya.
Kemarin malam Barra mengantarnya pulang sekaligus berbicara kepada Papa dan Mama. Papa tampak gelisah ketika mengetahui Barra akan pindah tugas ke luar kota, bahkan luar pulau. Ada sedikit kekhawatiran yang sempat Kania tangkap melalui sorot mata Papa, namun berhasil dia sembunyikan karena tidak ingin kemungkinan buruk yang berkecamuk dalam kepalanya menghancurkan mereka berdua.
Kini Barra menunduk. Meninggalkan Kania memang bukan keinginannya, terlabih harus meninggalkan Bianca. Tetapi, mungkin ini akan menjadi awal baru agar hubungan mereka bisa lebih kuat, dan Barra akan bersiap dengan segala risikonya.
"Saya berangkat, ya." ujar Barra dengan suara lemah.
Kania hanya mengangguk menyembunyikan air mata yang menggenang di pelupuk mata. Namun dia tetap memberikan senyuman terbaik untuk melepas lelaki yang membuatnya merasa dicintai.
"Kamu sudah janji untuk terbuka ceritakan semuanya selagi saya nggak ada, kan? Saya usahakan sesulit apapun disana, selalu ada waktu untuk kamu."
Kania mengangguk lagi, memberikan senyuman paling menenangkan, "yahh.. Aku dating-nya udah resmi sama HP ya mulai malam ini."
Barra mendengus lalu tersenyum miring, "tetep sama saya kok, cuma emang pasti beda walaupun perasaannya tetep sama."
"Dih, receh luu." Kania mendorong pelan dada Barra untuk mengalihkan semburat merah yang menjalar di kedua pipinya.
"Kenapa pipinya?" Barra mengangkat tangan kanan untuk menyentuh pipi Kania. Melihat kedua pipinya semakin bersemu, Barra mengulum senyum.
"Apasih? Sengaja banget bikin anemia gara-gara darah saya ke pipi semua ya?" Kania mundur selangkah menjauhi pipinya dari jangkauan tangan Barra.
Barra mendongak sambil tertawa pelan. Menikmati detik-detik perpisahan bersama perempuan paling ajaib di alam semesta.
Iya, semesta nya.
"Awas aja ya kalo ketemu bule disana matanya jelalatan!"
"Ohh, mulai posesif ceritanya? Berarti udah sayang?"
Kania mulai pasrah menghadapi kerecehan Barra yang keluarnya suka tidak tahu tempat, karena : YA MENURUT LO AJA BAR, GUE UDAH NANGIS-NANGIS SEMALAMAN BERHARAP LO NGGAK PERGI. YA KALI LO BERANI GODAIN CEWEK LAIN?!
Ingin rasanya Kania nyapu lantai bandara saking gondoknya dengan pertanyaan Barra. Kalau perlu di pel sekalian pakai pewangi seratus kilo agar Barra pingsan dan Kania bisa langsung memasukkannya ke dalam koper untuk dibawa pulang.
"Jangan telat makan!"
"Iya, kalau nggak lupa."
"Jangan terlalu gila kerja!"
"Iya, kalau nggak ada kerjaan."
"Vitamin di minum terus supaya imun kamu kuat."
"Pasti."
"Ada waktu senggang, gunain buat istirahat. Tidur. Biar nggak sakit."
"Berarti boleh kalau nggak hubungin kamu?"
Kania melotot tajam. "ya enggak gitu jugaaa!"
Barra terdiam menatap Kania dengan wajah serba salah. Menghela nafas lelah karena ya memang begini kalau berurusan dengan makhluk bernama 'perempuan'.
Kania berdecak, ingin nangis juga sih, tapi dia tahan supaya tidak terlalu kelihatan dia sangat keberatan melepas Barra pergi.
"Kamu memang harus istirahat kalau lagi senggang. Tapi," Kania menunduk memainkan kedua jemarinya sebelum mendongak menatap Barra dengan matanya yang mulai berkaca-kaca, "tolong jangan buat saya khawatir ya. Kamu nggak harus kabarin setiap saat kok. Take your time to finish your work, I'll understand. But, at least, tell me that you're okay. Is that bothering you?"

YOU ARE READING
NOTED
RomanceKania sudah kapok berurusan dengan polisi. Pertama, karena Kania pikir kebanyakan polisi itu playboy, contoh nyatanya sudah ada. Arion, kakaknya yang sering bawa pulang cewek berbeda tiap minggu. Kedua, polisi itu tidak peka! Seperti Zayn yang tida...