Noted on page 29 :
Gilaaa..! suasananya ngajak tinggal dan menetap.. HA HA HA -_-👮
Apartment Barra ternyata terlihat lebih homey dan terkesan sangat rapih. Segala perabotannya tertata dengan baik sesuai porsi. Ketika masuk ke dalam, aroma citrus segera menyambut indera penciumannya. Ada sofa berbentuk huruf 'L' diruang tamu yang menutupi permadani bercorak bunga. Tidak jauh dari sana ada dinding yang membatasi dapur dengan ruang makan.
Dinding berwarna abu-abu yang dihias beberapa foto dan lukisan ini meninggalkan kesan manly si pemilik apartment. Selebihnya, mungkin Bianca yang mengatur tatanan ruangan agar terlihat lebih hidup. Misalnya, dengan menambahkan tanaman hias di jendela dekat meja makan, rak buku di samping TV stand, reed diffuser yang ditempatkan menyatu dengan candi kecil yang terbuat dari tanah liat di atas televisi, dan juga... Oh! Ada tangga melingkar di pojok ruangan.
"Kamu mau makan apa?" Tanya Barra sambil memainkan jemari di atas ponselnya.
"Terserah." Kania sudah tidak merasa lapar. Namun jawaban yang dia berikan tadi langsung membuat Barra menatapnya. "Kenapa natapnya gitu?"
Barra tersenyum miring, kemudian menggelengkan kepala sambil fokus ke ponselnya lagi, "'Terserah' itu jawaban yang menjebak."
Kania terdiam sesaat, lalu terkekeh pelan setelah mengerti maksud Barra.
"Saya udah pesan pizza. Kamu bisa duduk disini sambil nonton tv, atau mau baca buku silahkan," Barra menunjuk rak buku dengan sedikit senyuman. "Saya mau mandi dulu, ya, gerah banget."
Kania mengangguk. Memperhatikan punggung Barra yang mulai menaiki tangga.
Mungkin dilantai atas itu kamar tidur mereka. Batin Kania menduga.
Sepeninggalan Barra, Kania memperhatikan bingkai foto yang ada di sofa ruang tamu. Tersenyum tipis ketika ada foto Barra dan Bianca saat mereka masih kecil, foto Barra yang menang olimpiade matematika di sekolah menegah, foto Barra yang kepalanya botak dengan tubuh yang tidak sebesar saat ini, kulitnya juga masih agak putih. Munkin itu foto Barra saat baru masuk akademi polisi. Kania tertawa membayangkan moment yang lelaki itu punya dari setiap foto.
Sekarang Barra udah glow up, jadi hak paten milik gue lagi, nikmat banget idup..
Namun, senyuman Kania luntur ketika menemukan wanita dan pria berumur tiga puluhan, menggendong bayi perempuan dan Barra ada disana memeluk sang wanita. Tersenyum begitu lebar seakan tidak memiliki firasat apapun kalau ternyata orangtuanya tidak bisa menemaninya tumbuh dewasa.
Kania tersadar bahwa Barra sudah melewatkan banyak hal. Terlepas dari pangkat maupun gelar yang ada pada pundak dan namanya, Barra adalah pria hebat. Tidak banyak manusia yang bisa melewati masa-masa sulit seperti itu. But, they did.
Kania kagum dengan ketegaran Barra dalam menampung tanggung jawab sebagai wali satu-satunya untuk adiknya. Mereka saling menjaga dan menguatkan meski di dalam hati, tidak ada yang tahu bahwa mereka menampung semua luka mereka sendiri.
Kania mundur selangkah. Tidak ingin merasakan pedih yang Barra alami karena dia tidak sekuat itu.
Kania memutar tubuhnya, langsung berhadapan pada pintu kaca yang tertutup tirai putih dekat ruang makan. Tanpa sadar kakinya melangkah kesana, menyingkap sedikit agar bisa mengintip isi di balik pintu tersebut.
Dan Kania terpaku. Pemandangan sore dari balkon apartemen lantai 18 ini memang sangat gila! Setelah rasa sesak yang dia rasakan dari sebuah figura, Kania tidak sabar menyambut sinar matahari menerpa wajahnya.

VOUS LISEZ
NOTED
Roman d'amourKania sudah kapok berurusan dengan polisi. Pertama, karena Kania pikir kebanyakan polisi itu playboy, contoh nyatanya sudah ada. Arion, kakaknya yang sering bawa pulang cewek berbeda tiap minggu. Kedua, polisi itu tidak peka! Seperti Zayn yang tida...