𝙗 𝙖 𝙜 𝙞 𝙖 𝙣 𝙩 𝙞 𝙜 𝙖

258 34 8
                                    

××

Ketika sampai, Calya mendapati keadaan rumah yang sudah gelap. Kondisi di sekitar rumahnya juga sudah sepi, meski sesekali masih ia dengar suara klakson kendaraan dari kejauhan.

Calya jarang pulang hingga selarut ini. Seringnya, ia selalu memastikan untuk pulang tepat waktu. Naya terkadang masih akan menunggunya di ruang tamu sembari menonton televisi.

Tangannya merogoh kantung kecil di bagian depan tas yang ia gendong. Kantung itu biasa ia gunakan untuk menyimpan barang-barang kecil seperti sampah kemasan permen, atau sobekan kertas, ia bahkan beberapa kali menemukan uang koin lima ratusan yang entah dari mana.

Ia membuka pintu dan melihat ke sekilingnya. Ruang tamu tampak gelap. Sorot lampu dari lubang ventilasi kamar lah yang membantu penglihatan Calya. Tidak ada tanda adiknya masih terjaga, membuat Calya berjalan menuju kamar Naya.

Dibukanya perlahan pintu kamar adiknya. Di sana, terlihat Naya yang kini sudah terlelap dengan selimut menutupi sekujur badan hingga dada, di sebuah ranjang berukuran single-bed yang sudah Naya tiduri sejak dirinya masih berada di sekolah dasar. Ruangan adiknya tampak rapi, kecuali meja belajarnya. Terlihat kertas-kertas berserakan juga sebuah laptop yang kini menganggur.

Calya berjalan mendekat. Matanya jatuh ke arah meja nakas di samping ranjang. Disana tergeletak sebuah jarum suntik dan sebotol cairan bening yang sudah sangat Calya hafal. Diperhatikannya wajah Naya. Adiknya tampak begitu tenang dan damai dalam tidur, seolah-olah mimpi buruk karena harus hidup tanpa orang tua sedari muda tidak pernah terjadi.

Calya menjulurkan tangannya, menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah Naya. Jemarinya mengusap pipi lembut itu dengan penuh sayang. Ia menunduk, meninggalkan sebuah kecupan ringan di dahi adiknya.

Keinginannya tidak muluk-muluk. Ia hanya ingin adiknya tumbuh tanpa perlu merasa takut dan khawatir. Ia ingin adiknya hidup sebagaimana seorang remaja harus hidup. Dan jika dengan itu Calya harus mengorbankan darah dan keringat, ia tidak akan ragu untuk melakukannya.

Kakinya berbalik menuju pintu, kepalanya menoleh sekali lagi, sebelum hela nafas keluar dari bibirnya. Ia berjalan menuju dapur. Sekarang sudah pukul lewat satu dini hari, dan dia harus bangun sebelum pukul 7 karena ia harus datang ke kampus dan bertemu dosen pembimbing untuk tugas akhirnya pukul 8.

Tangannya membuka pintu kulkas, mengambil dua lembar roti dan botol berisi selai kacang. Perutnya terasa lapar, dan dia tidak ingin maagnya kambuh.

Matanya menatap jendela, suasana begitu sepi dan tenang. Seperti dunia juga butuh beristirahat dari sibuknya siang hari. Hembusan angin malam dari ventilasi, juga suara hewan malam yang terdengar dari luar cukup untuk menemani Calya sibuk dengan pikirannya.

Seringkali ia bertanya-tanya, bagaimana seandainya jika hari itu, Ayah dan Bunda membatalkan rencana mereka untuk datang mengunjungi adik Ayah di luar kota. Bagaimana jika saat itu, orang tuanya memutuskan untuk menggunakan pesawat daripada naik mobil?

Apakah Calya masih harus bekerja di dua tempat seperti saat ini? Atau dirinya bisa dengan tenang dan fokus menyelesaikan tugas akhirnya sebagai mahasiswa komunikasi, menerima ijazah kelulusannya tepat waktu, dan sibuk merasakan sebagai pengangguran karena menunggu panggilan interview kerja.

Calya tidak tau.

Membayangkan semua 'seandainya' itu hanya membuat dirinya marah. Marah pada realita, marah pada dirinya sendiri yang masih belum juga menerima, marah pada semuanya. Ia bahkan tidak punya waktu untuk berduka dan mengurung dirinya di kamar. Detik setelah ia menerima kabar mobil yang orang tuanya tumpangi menjadi bagian dari sebuah kecelakaan beruntun, dengan tambahan bahwa seluruh badan mobil hancur dan bisa dipastikan seluruh korban meninggal, Calya hanya bisa terdiam.

𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang