𝙥 𝙧 𝙤 𝙡 𝙤 𝙜 𝙪 𝙚

3.6K 340 61
                                    

       Hilir mudik kendaraan mengisi tiap ruas jalanan. Suara klakson yang saling bersahutan satu sama lain mengisyaratkan betapa tidak sabarnya para pengendara. Terik panas matahari terasa membakar kulit, membuat keringat mulai membanjiri badannya yang terasa lengket. Rasanya sangat mengganggu, namun dirinya tidak bisa pulang ke rumah untuk mandi terlebih dahulu. Kecuali jika dia berharap untuk telat menghadiri shiftnya siang ini.

Calya dengan terburu menyebrangi jalan untuk mengejar waktu. Dia baru saja menyelesaikan kelasnya untuk hari ini. Sekarang, dirinya harus segera menuju ke salah satu restoran bernama Renjana Resto untuk mengisi shiftnya sebagai waitress. Tidak peduli selelah apa dirinya, Calya selalu berusaha datang tepat waktu. Entah itu soal pekerjaan, atau bahkan sekedar bertemu dengan teman-temannya.

Shiftnya berlangsung hampir 6 jam, setelah itu, dia harus segera ke kelab untuk mengisi shiftnya sampai tengah malam nanti.

Jika kalian bertanya kenapa Calya terlihat begitu sibuk, itu karena dirinya tidak punya pilihan.

Ditinggalkan orangtuanya sejak masih kelas 12 SMA, dirinya dituntut untuk bertanggung jawab. Tidak hanya atas dirinya sendiri, namun juga terhadap adiknya, Naya, yang kini tengah berada di kelas 12 SMA. Perbedaan umur mereka yang terpaut 6 tahun membuat Calya sudah terbiasa mengurusi adiknya sedari Naya masih belajar berjalan.

Calya tidak datang dari keluarga yang kekurangan. Semasa orangtuanya hidup, keluarga Calya termasuk berkecukupan. Calya tidak perlu khawatir soal bagaimana membayar segala kebutuhan rumah, atau biaya sekolah adiknya. Namun kini, dirinya mau tidak mau harus mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga.

Jujur saja, dirinya begitu lelah. Hampir tidak ada hari di mana dirinya bisa bersantai. Harinya akan terisi dengan kuliah-kerja-mengurus rumah. Kadang Calya ingin menyerah, merasakan bagaimana mentalnya seperti dikuras habis. Namun melihat bagaimana adiknya tersenyum setiap kali dirinya memasuki pintu depan, Calya seperti kembali diingatkan bahwa ia masih punya alasan mengapa menyerah tidak akan pernah menjadi pilihan.

Seharusnya Calya memang tidak perlu memikirkan tentang biaya pendidikan untuk dirinya dan Naya. Namun mengingat bagaimana kondisi adiknya, Calya tidak punya pilihan dan menggunakan uang itu untuk keperluan lain.

Dia baru saja selesai berganti seragam kerja ketika merasakan ponselnya bergetar di saku celana. Calya sudah tau siapa yang akan menghubunginya di waktu seperti ini. Kontak ponselnya cuma berisi nomor beberapa orang, dan mereka yang paling sering menghubunginya hanyalah Naya.

Keluarga dari kedua pihak orang tuanya sudah lama tidak menghubungi Calya. Bahkan untuk sekedar bertanya kabar. Jujur saja, Calya tidak peduli. Keluarga besarnya bisa sangat menyebalkan. Calya hanya bersyukur karena semenjak kematian kedua orangtuanya, yang kemudian disusul nenek dan kakeknya sekitar dua tahun lalu, Calya dan adiknya tidak dituntut untuk datang ke acara kumpul keluarga.

Bahkan ketika pembacaan pembagian warisan nenek kakeknya, tidak ada satupun keluarga yang menghubungi Calya. Hingga notaris yang ditunjuk oleh opa-nya lah yang menghubungi Calya dan meminta bertemu secara langsung.

"Halo, Nay." Matanya melirik ke arah jam dinding yang menggantung di salah satu sudut ruangan. Pukul 1:27 siang. Tiga menit sebelum shiftnya mulai.

"Kakak ada shift ya hari ini?" suara kecil dan lembut milik Naya menyapa telinga Calya.

Kadang dirinya heran bagaimana adiknya bisa selembut itu. Calya dan Naya adalah dua sumbu yang saling berlawanan. Disaat Naya adalah sosok yang lembut dan jarang sekali berbicara, Calya adalah orang yang seringkali menyampaikan opini dan akan terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya pada sesuatu. Meskipun sejak beberapa tahun ini, dirinya mulai berusaha untuk mengurangi kebiasaannya itu.

𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞Where stories live. Discover now