𝙗 𝙖 𝙜 𝙞 𝙖 𝙣 𝙡 𝙞 𝙢 𝙖

208 31 14
                                    

Suasana di dalam mobil begitu tegang. Calya memainkan jemarinya yang saling bertaut, memfokuskan perhatiannya ke luar jendela. Ia sadari bahwa sejak Januar menjalankan mobil, pria itu meliriknya setiap beberapa kali. Meski begitu, Calya mengabaikannya. Tidak juga berusaha untuk membuka percakapan.

Berada di satu ruangan sempit dengan pria ini membuatnya gugup. Sesuatu yang jarang sekali Calya alami. Hah! Dia berkali-kali didekati oleh cowok, mulai dari yang sembunyi-sembunyi dengan niat mereka, sampai mereka yang terang-terangan ingin dekat dengan Calya.

Lalu apa yang membuat Januar berbeda?

Mungkin pakaiannya yang walaupun hanya terdiri atas celana jeans warna hitam, kaos abu polos dan dibalut dengan jaket kulit berwarna hitam. Atau aura Januar yang membuat Calya terintimidasi. Pria yang kini duduk di sebelahnya punya bakat untuk membuat orang disekitarnya merasa harus segan padanya. Membuat kesan pongah menguar darinya. Meski begitu, Calya tidak bisa marah.

Calya berpikir, seandainya ia adalah Januar, dengan nama, karir, popularitas, dan wajah seperti itu dirinya jelas bisa sombong.

Suara deheman kikuk terdengar dari sebelahnya, yang hanya Calya respon dengan lirikan dari sudut mata.

"Alamat kamu?" Januar bertanya sembari menoleh ke arahnya sejenak. Kedua tangannya dengan erat menggenggam kemudi, menunjukkan urat-urat di tangannya yang semakin menonjol.

Calya ingin menampar pipinya sendiri ketika otaknya berkata betapa Januar terlihat begitu... seksi.

Calya hendak membuka mulut ketika Januar menuding ke arah GPS ponsel yang kini tersemat di dashboard mobil. "Langsung masukin aja ke GPS."

Calya menatap Januar dengan ekspresi aneh. Berpikir bahwa pria di sebelahnya mungkin sempat mabuk.

Lagipula, orang normal mana yang akan membiarkan orang asing mengakses ponsel pribadi dengan sesuka hati. Memang benar bahwa Calya tidak melakukannya tanpa seijin Januar, tapi tetap saja. Seumur-umur Calya bahkan tidak akan membiarkan orang tuanya membuka ponsel miliknya tanpa izin. Apalagi orang lain yang bahkan tidak saling kenal selain nama satu sama lain.

"Kamu aneh." Ucap Calya.

"Kenapa?" Januar menoleh sebentar ke arahnya dengan ekspresi bingung yang tidak dibuat-buat.

"Kenapa?" Calya bertanya tidak percaya. "Saya sama kamu nggak saling kenal, gila aja saya buka-buka hape kamu."

Januar memutar bola matanya malas mendengar ucapan mendramatisir Calya. "Yaelah, santai aja kali. Lagian kamu bukannya buka ponsel saya tanpa izin. Nih, saya duduk di sebelah kamu. Saya bisa liat kalo kamu buka yang lain-lain."

"Tetep aja kali nggak sopan," Calya masih saja ngotot, yang dibalas Januar dengan hela nafas.

"Kalo saya nggak lagi nyetir, udah saya ketik sendiri, Calya. Tapi kamu tau tangan saya cuma dua," Januar kembali memberi alasan.

𝘔𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘢𝘬𝘢𝘭 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘴𝘪𝘩, Calya membatin dalam hati.

Tentu saja dia tidak mengucapkan respon itu keras-keras. Jika begitu, dia akan kalah berargumen sama Januar, dan dia tidak bisa menerima itu.

Diiringi gumaman, Calya meraih benda persegi panjang yang harganya mungkin setara gajinya di restoran selama beberapa bulan. Ia mengetuk layarnya dua kali. Matanya menoleh ke arah Januar, dirinya menatap pria itu dengan ekspresi datar.

"Ada ya orang penting kayak kamu tapi hpnya nggak dikasih kunci. Atau minimal pola."

"Saya sering kelupaan."

"Kamu? Pelupa?" Calya bertanya dengan nada tidak mengerti.

"Lagian saya juga nggak sesering itu pegang hape," Januar mengedikkan pundaknya. "Dan nggak akan ada juga yang berani pegang ponsel saya tanpa izin. Jadi, ngapain saya repot-repot ngasih pin yang kemungkinan besar nggak bakal saya ingat."

𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞Donde viven las historias. Descúbrelo ahora