b a g i a n s e m b i l a n b e l a s

118 21 9
                                    

Perhatian keduanya kini fokus mengikuti sosok yang baru saja memasuki restoran. Sosok itu belum menyadari keberadaan mereka. Calya menatap Januar sekilas, mendapati ekspresi datar yang sukar untuk Calya deskripsikan.

Sosok Janitra sama seperti yang ia duga. Cantik, putih, kaki jenjang dan wajah mahal yang menunjukkan bahwa butuh perhatian ekstra untuk perawatan. Rambut hitam lurus miliknya tergerai menutupi punggung. Membuat aura perempuan kaya dan mandiri bisa terdeteksi dari jarak bermeter-meter.

Calya menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Tangannya saling bersedekap di depan dada, menunggu dengan sabar sekiranya drama apa yang akan terjadi jika seandainya Janitra bertemu Januar di sini. Hanya berdua dengan sosok baru seperti Calya.

Ia tidak merasa rendah diri atau apa. Namun jelas, bertengkar dengan sesama perempuan hanya karena seonggok makhluk bernama laki-laki jelas tidak berada dalam daftar hidup Calya. Bahkan jika sosok itu serupa Januar, Calya akan lebih milih mengalah.

"Calya?" Januar memanggil, menarik perhatian Calya yang tanpa disadari sudah menatap Janitra.

Kepalanya segera menoleh ke arah Januar, "hmm?"

"Inget yang aku bilang tadi, kan?" Mendengar pertanyaan Januar, Calya mengangkat sebelah alisnya. Januar menghembuskan nafas. "Kalau Janitra nggak ada apa-apanya dibanding kamu. Aku nggak akan mau lagi balik sama dia sekalipun dia satu-satunya cewek di dunia."

"Ck ck ck, Januar," Calya menggeleng pelan. "Jangan bikin janji yang sekiranya nggak mungkin buat kamu penuhi."

Calya mengingatkan. Bagaimanapun, Janitra itu cantik. Sangat cantik malah. Dan mau seberapa keras pun juga Januar mengelak, dia tetaplah laki-laki yang punya nafsu biologis sebagai manusia.

Ia tidak akan mengelak jika seandainya Januar dan Janitra adalah satu-satunya manusia yang tinggal di bumi, akan sangat tidak mungkin bagi laki-laki menolak perempuan. Kecuali jika dia gay, tentu saja.

"Lagian ya," Calya kembali berkata, sebuah senyum miring di bibir. "Belum tentu juga Janitra mau balik sama kamu. Jangan kepedean, deh."

Mendengar itu, bukannya tersinggung Januar justru tertawa. "Bagus lah. Jadi, nggak perlu ada yang ganggu aku PDKT ke kamu."

Mendengar itu, Calya mendengus. Ia mengacuhkan Januar, memilih kembali memperhatikan Janitra yang kini berjalan masuk. Tak berapa setelah perempuan itu duduk, sosok laki-laki yang tidak Calya ketahui berjalan tepat di belakangnya. Hal yang sama tidak terjadi pada Januar. Menilik dari bagaimana sorot mata Januar berubah lebih dingin dan rahang yang sedikit menggertak, Januar sepertinya tahu siapa laki-laki itu.

"Sayang banget, kayaknya Janitra udah move on deh dari kamu," Calya berkata remeh. "Nggak bakal ada tuh drama ngajak balikan."

"Bagus dong." Januar menyahut. Ia menatap Calya. "Lagian males juga aku ketemu dia."

"Yakin?"

"Banget," Januar mengangguk pasti. "Cuma heran aja sih, sejak kapan Janitra sama dia."

Calya menunggu Januar menjelaskan siapa sosok lelaki yang sepertinya tidak berada dalam daftar buku pertemanan Januar. "Siapa tuh?"

"Nanda."

Calya menggeleng tidak mengerti. "Nggak kenal."

"Mudahnya, dia dulu pernah nyoba buat beli kelabnya Sena tapi gagal. Nyoba mengakuisisi salah satu retail belanja tapi kalah cepet sama aku. To put it simply, kita nggak punya hubungan baik satu sama lain."

Mendengar penjelasan Januar, Calya mengangguk.

"Lucunya, Mami dan orang tuanya Nanda akur-akur aja. Bahkan Mami satu geng arisan sama Mamanya dia. Mungkin karena Mami nggak tau kalau aku sama Nanda bukan temen baik."

𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞Where stories live. Discover now