bagian dua puluh satu

169 24 8
                                    

Januar memutar badan Calya agar berbalik menghadap ke arahnya. Matanya menyusur Calya dari puncak kepala hingga ujung kaki. Rok mini bermotif bunga yang ia kenakan, dipadu dengan crop top senada membuat Calya tampak cantik dan menggemaskan. Rambut hitam sepunggung yang sudah di styling dengan gaya bergelombang membuat sosok Calya begitu menggoda.

Make up tipis dan bibir yang dipoles dengan liptint berwarna pink merona membuat Januar hampir saja kelepasan. Ia bahkan belum meminum setetes pun alkohol sejak sampai di sini beberapa menit lalu, namun sosok Calya yang sekarang berdiri dengan wajah polos sudah lebih dari cukup untuk membuatnya mabuk.

"Baru sampai lo, Kak?" suara Willo membuat Januar tersadar bahwa ia dan Calya bukan satu-satunya yang ada di ruangan. Ia menarik Calya mendekat ke samping tubuh. Memeluk pinggang mungilnya yang terekspos, menampilkan kulit mulus Calya. 

Januar mengangguk. "Iya, gue buru-buru ke sini gara-gara Sena bilang cewek gue udah dateng sama Salma dan Kiara."

Di hadapan mereka, Willona mengabaikan bagian 'cewek gue' yang Januar sisipkan. Seolah mengklaim siapa Calya di antara banyaknya tamu-tamu cowok yang ternyata lumayan banyak.

"Yaudah deh, lo berdua enjoy, ya. Gue mau ke kamar mandi dulu kebelet kencing," Willona bangkit dari kursi.

"Mau gue anter nggak?" Calya menawarkan, membuat Januar meremas pinggangnya pelan. Calya pura-pura tidak sadar.

"Makasih, tapi nggak perlu. Biar gue minta Cakra aja. Tuh anak kalau nggak disuruh berhenti yang ada mabok duluan daripada temen-temennya." Willona beralasan, membuatnya dihadiahi senyuman lebar oleh Januar. Melihatnya membuat Willona tertawa. "Lagian kayaknya Kak Janu lebih butuh lo daripada gue. Nice to know you, Calya."

"Lo juga, Will." Calya membalas dengan senyum kecil. Mengikuti arah kemana Willona berjalan. Dilihatnya perempuan hamil itu yang kini menjewer telinga Cakra, membuat cowok super tinggi itu mengaduh, namun tetap mendengarkan omelan Willona dan mengikuti istrinya itu keluar ruangan.

"Jadi aku 'cewek kamu' ya?" Calya berkata setelah beberapa saat terdiam.

"Calon istri aku," Januar segera menyahut. "Bulan depan kan kita nikah."

"Idih, pede banget," Calya berusaha melepas rangkulan tangan Januar di pinggangnya. Bukan apa-apa, kontak fisik antara telapak tangan Januar dengan kulitnya membuat darah Calya berdesir. Selama ini, ia tidak pernah berkontak fisik dengan orang lain selain pelukan dengan Naya, atau bersalaman dengan orang lain.

"Bukan pede," Januar menarik Calya semakin mendekat. Seolah tubuh mereka tidak bisa lagi menempel lebih dari ini. "Kamu tau kalau aku nggak bakal nyerah kan?"

"Kamu aja nggak ngelamar aku, cuma nanya doang."

"Kalau kamu mau dilamar mah bilang aja, Lya," Januar tersenyum konyol. "Kamu mau dilamar yang kayak apa? Sebuket bunga dan aku yang memohon ke kamu? Atau kita perlu dinner di Paris sambil liatin Menara Eiffel mungkin?"

Calya memukul dada Januar pelan. "I want neither."

"I know," Januar semakin mendusel sisi kepala Calya dengan hidungnya. Mencium rambut gadis itu.

"Berhenti ndusel kayak kucing. Geli!" Calya berusaha menyingkirkan kepala Januar dari ceruk lehernya.

"Eung..." Januar menggeleng.

Calya menghela nafas. Memilih mengalah dan memijat kepala belakang Januar dengan perlahan.

"Perasaan aku doang atau kamu emang lebih touchy kali ini?" Calya membiarkan Januar yang kini berganti mengendus puncak kepalanya.

𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞Where stories live. Discover now