LB ~9~

14.7K 1.6K 270
                                    

"Buruan naik!" Tegur Lanang, menatap kesal kepada Bima yang masih mematung dibelakang motornya, sambil melipat ke dua tangannya di dada. Detik berikutnya kening Lanang berkerut, saat menyadari wajah remaja kalem itu terlihat ketakutan. "Woy!"

Bima tersentak kaget, lamunannya membuyar saat Lanang kembali menegurnya dengan nada suara yang dinaikkan.

"Malah ngelamun, ayo pulang. Mau di sini aja kamu?"

Menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya Bima hembuskan secara perlahan. Menjatuhkan kedua tangannya, Bima berjalan mendekati motor milik Lanang.

Bersamaan dengan itu, terlihat Lanang mengambil jaket kulit berwarna hitam yang ia taru di stang motornya.

Bima mengerutkan kening. Remaja itu mengurungkan niatnya yang akan manjat ke atas motor, saat melihat jaket kulit disodorkan, tepat di depan dadanya.

"Nih, pake."

Dengan wajah yang datar bercampur bingung, Bima menatap jaket kulit tersebut. Tentu saja ia merasa heran, apa maksudnya coba? Apa ini sifat baik yang tidak pernah ia ketahui dari cowok itu? Atau karena remaja galak itu peduli padanya.

"-kencleng!"

Segala macam pradigma yang sempat berputar-putar di otak Bima membuyar, saat jaket kulit berwarna hitam itu, dilempar tepat di pundaknya.

"Makananya, jadi laki-laki itu yang tegas, jangan lembek! Kalau ada yang usil itu ya dilawan, jangan diem aja," omel Lanang sambil memakai helm full face miliknya.

Mencoba untuk tidak mendengarkan omelan remaja itu, Bima mengulas senyum, menatap jaket hitam yang sudah berada di tangannya. Meski cara memberikan jaket itu terkesan ketus, tapi setidaknya ada sedikit sifat baik yang dimiliki oleh Lanang. Tidak, tidak sedikit, Lanang baru saja menyelamatkan dirinya dari sesuatu hal yang sangat mengerikan. Entah apa yang akan terjadi kalau Lanang tidak datang tepat waktu. Mungkin saat ini ia sedang menangis tersedu-sedu di bawah pohon nangka. Tidak hanya, keadaannya yang sedang datang bulan, akan diketahui oleh Bayu. Jika tidak ada Lanang, mungkin dunianya akan hancur malam ini. Terlepas dari sifatnya yang songong, setidaknya remaja itu sudah menyelamatkan hidupnya.

"Makasih ya, Lan," ucap Bima setelah ia duduk di atas motor, di belakang punggung kokoh milik Lanang. Remaja itu juga sudah memaki jaket kulit yang sedikit kebesaran di tubuhnya.

Lanang mengerutkan kening, menoleh ke belakang, "apa?"

"Makasih," ulang Bima.

"Bukan, tadi kamu manggil aku apa?"

Kening Bima berkerut, menatap wajah yang tertutup kaca helm, "Lan," jawab Bima. "Lanang kan?" Tegasnya.

"Kayaknya tadi kamu manggil aku kang ya?" Ucap Lanang mengingatkan. "Kok sekarang manggil nama?"

Bima menelan ludah, "yah kan tadi," jawabannya gugup. "Sekarang nggak mau. Entar kamu jadi makin songong, besar kepala."

"Wasu..." murka Lanang. Tidak ingin berdebat dengan hal yang tidak penting, remaja itu kembali memutar kepala, lalu menghidupkan mesin motornya. Sesaat setelahnya ia menarik gas, membuat motor miliknya mulai bergerak maju, meninggalkan area parkir.

Bima mengulas senyum, menatap punggung dibalik kemeja kotak-kotak. Rasa takut dan trauma yang ia rasakan beberapa menit lalu, tiba-tiba menghilang, entah kemana.

***

"Ini di minum lima menit, sebelum melakukan hubungan," ujar ibu Muna kepada seorang tamunya, yang meminta dibuatkan ramuan perangsang olehnya. "Kalau jamu-jamu yang biasa kan nunggu satu jam, kalau ini nggak pakai lama, soalnya khasiatnya ampuh," jelasnya.

Lanang-nya Bima {Mpreg}Donde viven las historias. Descúbrelo ahora