LB ~43~

10K 1.4K 113
                                    

Meski masih dalam keadaan lemah, ibu  Nur memaksakan diri keluar rumah, bersama pak Suta, untuk menemui keluarga pak Drajat.

Saat ini pasangan usia lanjut itu sudah berdiri di teras rumah, berhadapan dengan Bima dan kedua orang tuanya.

Ibu Nur mengulas senyum, menatap keluarga kecil di depan matanya.

“Tumben dateng kesini rombongan?” Ucap ibu Nur. Kemudian wanita yang pernah langsing saat masih muda dulu, menatap heran pada mobil pick up yang terparkir di halaman rumah, di bawah pohon mangga.

“Kalian ke sini bawa mobil?” Heran ibu Nur.

“Iya Bu,” sahut pak Drajat. “Tapi bawa motor juga.”

Pak Suta dan ibu Nur mengerutkan kening, menatap heran pada pak Drajat.

“Lha, kok?” Celetuk pak Suta.

“Sebenarnya ada yang mau kami bicarakan pak, bu. Sekalian nganter ramuan buat istrinya Hendro,” beritahu ibu Muna yang membuat pasangan lanjut itu, menoleh padanya.

Ibu Nur menatap botol yang sedang dipeluk oleh ibu Muna. “Itu ramuannya?” tanya wanita itu.
Ibu Muna mengangguk, “iya Bu,” jawabnya.

“Terus apa yang mau kalian bicarakan?” Tanya pak Suta kemudian.

“Yaudah kalau gitu kalian masuk, kita ngobrol di dalem aja,” sergah ibu Nur.

“Iya, kita ngobrol di dalem aja,” pak Suta mengimbuhkan.

Ibu Muna dan pak Drajat saling pandang, sebelum akhirnya kembali menatap pasangan lanjut usia itu.

“Maaf jadi mengganggu bapak sama ibu.” Suara ibu Muna terdengar sungkan.

“Tenang aja, enggak mengganggu kok,” ucap ibu Nur ramah. “Yuk masuk.”

Tangan ibu Nur terulur, meraih pergelangan remaja yang berdiri di tengah-tengah antara ibu Muna dan pak Drajat. “Ayo Bim, kok malah canggung gitu,”  kata wanita itu sambil menarik pelan tangan Bima.

“Katanya kamu lagi sakit, kok enggak istirahat aja di rumah.” Tangan ibu Nur merangkul di pundak Bima, lantas mengajaknya berjalan ke arah pintu.

Bima tersenyum tipis, “udah baikan Bu.”

“Terus gimana, kamu suka sama motor yang ibu kasih?” Tanya ibu Nur ditengah langkah kaki mereka. “Udah bisa bawanya belum?”

“Belum, Bu.”

“Drajat, Muna,” tegur pak Suta yang membuat pria dan wanita itu tersentak kaget.

Pasangan suami istri itu lantas menatap gugup kepada pria tua—namun masih terlihat gagah, berdiri di hadapan mereka.

“Malah bengong, ayo masuk,” ajak pak Suta.

“I-iya, pak,” gugup ibu Muna.

Pak Drajat dan ibu Muna menghela napas, sebelum akhirnya melangkah ragu, berjalan di belakang pak Suta.

Bersamaan dengan itu, terlihat seorang pria baru saja keluar rumah, lantas berdiri di ambang pintu.

Melihat pria itu, ibu Muna mendadak gugup, dan terlihat salah tingkah ketika tatapan matanya bertemu dengan mata pria itu. Namun, secepat kilat wanita itu bisa langsung mengatasi emosinya.

Menatap pria itu, Ibu Muna mengulas senyum, meraih lengan pak Drajat, lantas memeluk lelang kekar itu, posesif.

Hal itu membuat Prapto menatap sinis pasangan itu.

“Eh, Prap kamu pulang juga,” ucap Drajat saat sudah berada di depan sahabat lamanya. “Kok enggak main ke rumah, gimana kabar kamu?” Melepaskan pelukan sang istri, Drajat mengulurkan tangannya, ke arah Prapto.

Prapto menghela napas, sambil menenggelamkan kedua telapak tangan ke saku celana dasarnya.

“Maaf aku sibuk, nggak punya waktu.”

Setelah mengatakan itu, Prapto memutar tubuh, berjalan masuk ke dalam rumah, mengabaikan tangan Drajat yang masih menggantung di udara.

Drajat menelan ludah, menatap kecewa punggung sahabatnya.

Menarik sebelah ujung bibirnya, Muna mendesis menatap sinis punggung laki-laki itu. “Sombong,” ketus wanita itu. “Udah tua, nggak malu sama umur.”

“Hi~ ngapain si ini,” kesal Muna sambil menarik turun tangan Drajat yang masih menggantung di udara. “Mau-maunya ramah sama orang seperti itu.”

Meraih tangan Drajat, Muna menarik pria itu masuk ke dalam rumah pak Suta.


***


Di ruang tamu berukuran luas, Bima sudah duduk di tengah-tengah antara ibu Muna dan pak Drajat, berhadapan dengan kedua orang tua Lanang, duduk di seberang meja.

Sementara di ruang berbeda, namun tanpa sekat, sehingga bisa terlihat ada Prapto duduk di sofa panjang, seorang diri.

Menggunakan lidah, Bima membasahi bibir bawah. Air liurnya seperti mengalir deras saat melihat buah-buahan yang baru saja disajikan oleh pembantu rumah tangga keluarga pak Suta.

Remaja itu hanya menelan ludah. Meski sangat ingin mengambil buah anggur itu, namun sekuat tenaga Bima berusaha untuk menahan.

Terlihat ibu Nur, sedang menatap datar pada botol berisi ramuan yang baru saja diberikan oleh ibu Muna.

“Terima kasih ya Mun, mudah-mudahan istrinya Hendro bisa sembuh, setelah minum ini.”

“Sama-sama, Bu,” sahut ibu Muna.

Ibu Nur meletakkan botol itu di atas meja, lantas menatap wanita si pembuat ramuan tersebut. “Terus ini harganya berapa?” Tanyanya kemudian.

“Itu enggak usah dibayar, Bu,” kata ibu Muna.

Kening pak Suta berkerut, “kok gitu?”

“Nggak bisa gitu Muna,” sergah ibu Nur. “Kamu dapet rejeki kan dari ini, masa mau dikasih gratis.”

“Nggak papa Bu, itung-itung, saya pengen nolong istrinya Hendro, mudah-mudahan cocok_”

“Enggak Mun,” Potong ibu Nur dengan nada yang terdengar tegas. “Saya enggak suka seperti itu. Ini hasil jerih payahmu, tetep harus dihargai. Pokoknya saya tetep akan bayar,” putus wanita itu.
Ibu Muna menghela pasrah. Lantaran tidak ingin berbelit-belit, akhirnya wanita yang mempunyai banyak julukan itu memutuskan;

“Yaudah gimana ibu Nur saja, tapi bayarnya nanti kalau ramuan itu sudah terbukti berkhasiat.”

“Nah, kalau gitu kan kita sama-sama enak.” Ibu Nur menghela napas lega.

“Oh iya, katanya ada hal penting yang mau dibicarakan,” celetuk pak Suta yang membuat seluruh pasang mata, menoleh ke arahnya.

Kecuali Bima, remaja kalem itu sedang asyik memandang buah-buahan di atas meja, sambil membayangkan rasanya. Mulut Bima tidak berhenti berkecap, menelan liur yang terasa membanjiri lidahnya.

“-soal apa?” Lanjut pak Suta.

Ibu Muna dan pak Drajat saling bersitatap, sebelum akhirnya menatap pasangan lanjut usia itu.

“Anu, jadi gini pak_”

Kemunculan Miswanto di ruang tamu, menggantungkan kalimat pak Drajat. Pria itu kini fokus menatap anak kedua pak Suta dan ibu Nur.

“Kok lama pak, kita udah pada nunggu di ruang keluarga,” ucap Miswanto. Pria itu sudah berdiri di samping pak Suta.

“Bentar, masih ada tamu,” beritahu pak Suta.
Miswanto menoleh pada tiga orang yang tengah duduk berdampingan. “Oh, kamu Drajat,” ucap pria itu.

Pak Drajat tersenyum nyengir seraya mengangguk, “iya Wan, kamu pulang juga?”

“Iya ini,” balas Miswanto. “Yaudah silakan dilanjut.”

Setelah mengatakan itu, Miswanto memutar tubuh, berjalan ke arah kursi panjang, lantas duduk di samping Prapto.

Hal itu membuat ibu Muna menjadi gelisah, lantas mendengkus pelan, seraya membatin. “Kok malah duduk disitu, kalau gini caranya, bisa tahu semua.”

Kegelisahan ibu Muna semakin menjadi saat melihat dua orang pria muncul dari ruangan berbeda, sedang berjalan ke ruang tamu.

“Oh, lagi ada tamu,” ucap Wirawan yang ditanggapi senyum kecut oleh ibu Muna dan pak Drajat.

Wirawan dan Rendi berjalan ke arah kursi panjang, lalu duduk di sebelah kakak pertama dan keduanya.

Ibu Muna mendesah pelan, “duh, makin rame,” desis wanita itu.

Kehadiran ke empat kakak Lanang, sejenak melupakan hasrat Bima yang sangat ingin mencicipi buah anggur. Remaja itu menoleh ke arah kursi panjang, lantas menatap resah ke empat pria itu.

Sepertinya, kekhawatiran yang sempat ia bayangkan tadi, akan benar-benar terjadi.
“Kok pada ngumpul di sini?”

Suara berat seorang laki-laki yang baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu, membuat Bima menoleh ke arah sumber suara. Ia menelan ludah melihat laki-laki itu sudah berdiri di samping pak Suta.

Lanang menoleh ke arah pak Drajat, menyapa pria itu, “pak.” Lantas menoleh ke arah wanita di samping remaja yang sedang menatapnya tegang. “Tumben, Bu Muna ikut.”

Ibu Muna menjawab seadanya. “Iya Lan, sekalian pengen nengokin ibu Nur.”

“Oh,” ucap Lanang sambil mendudukkan pantatnya di pegangan kursi, di samping pak Suta.

“Lagi ada tamu duduk yang sopan, Lan,” tegur pak Suta.

Melipat kedua tangannya di perut, Lanang memutar bola mata, mengabaikan kata-kata pak Suta. Laki-laki itu malah terlihat cuek, menyandar pada sandaran kursi.

“Nggak apa-apa pak,” ucap pak Drajat. “Namanya juga anak muda.”

Pak Suta dan ibu Nur menghela napas. Tidak ingin berdebat, pasangan lanjut usia itu pasrah, membiarkan Lanang duduk sesuka hatinya.

“Oh iya, terus gimana tadi, kalian mau ngomongin soal apa?” Cetus pak Suta mengembalikan topik yang sempat tertunda.

Dengan wajah yang terlihat gelisah, pak Drajat dan ibu Muna bersitatap. Pasangan suami-istri itu merasa tidak nyaman karena keberadaan anak-anak pak Suta dan ibu Nur.

“Ada apa Mun?” tegur ibu Nur.

“E-enggak Bu,” Gugup ibu Muna.

“Apa keberatan ada anak-anak saya di sini?” Celetuk pak Suta seolah tahu isi hati ibu Muna dan pak Drajat.

“Eh, enggak,” sahut pak Drajat cepat. Merasa tidak enak dengan anak-anak pak Suta, pria itu terpaksa berbohong.

Pak Drajat menghela napas. Tidak ada pilihan lain, toh anak-anak pak Suta dan ibu Nur juga nanti akan tahu.

Tidak ada salahnya berbicara di dekat mereka,-- pikir pak Drajat.

“Jadi gini pak.” Pak Drajat memulai obrolan, namun-

“Bu.”

-suara Bima mengantungkan kalimat pria itu, membuat seluruh pasang mata kini fokus menatap remaja itu.

“Ada apa, Bim?” Tanya ibu Muna.

Wajah Bima berkerut menatap sang ibu. “Aku, aku pengen makan anggur, pengen banget.”

“Yaampun Bim~” ucap gemes ibu Nur. “Ambil aja, kenapa minta ijin-“

Bersamaan dengan itu, pak Drajat dan ibu Muna menghela napas.

“-itu ditaruh disitu kan emang buat dimakan,” lanjut ibu Nur. “Ayo ambil, yang banyak.”

Bima tersenyum kecut. Meski sebenarnya sangat malu dengan ulahnya sendiri, namun hasrat ingin memakan buah anggur memaksa tangannya mengulur, lantas mengambil beberapa butir buah anggur.

“Makasih Bu.” Bima memasukkan satu butir anggur ke dalam mulut, lantas mengunyahnya. “Em, enaknya.”

Menarik sebelah ujung bibirnya, Lanang mendesis, menatap sinis remaja itu.

“Dihabiskan kalau suka Bim,” cetus ibu Nur. “Lagian kenapa harus ijin sih, tinggal ambil nggak apa-apa kok.”

Wajah Bima berkerut. Seketika remaja itu merutuki kekonyolannya sendiri. Ibu Nur benar juga, kenapa harus minta ijin segala?

Bima menelan ludah.

Sementara ibu Muna hanya terdiam, menatap miris anak laki-laki nya. Karena sudah tahu kalau Bima sedang hamil, membuat wanita itu berpikir, kalau putra semata wayangnya itu, sedang mengalami ngidam.
“Maafin Bima pak, Bu,” celetuk pak Drajat membuat pak Suta dan ibu Nur, menoleh padanya.

“Enggak apa-apa,” sahut pak Suta. “Terus gimana tadi?”

Pak Drajat menghela napas,-- “ada-ada saja,” batin pria itu.

“Jadi gini, pak Bu,” ucap pak Drajat kemudian. “Sebenarnya, maksud kedatangan kami kesini, ada beberapa hal yang mau kami sampaikan sama pak Suta dan ibu Nur.”

Kedua orang tua Lanang kini mulai memasang wajah serius, menyimak apa yang akan disampaikan oleh pak Drajat. Termasuk kelima putra-putra mereka.

“Pertama, kami mau mengembalikan motor, dan beras yang sudah ibu Nur kasih ke kami-“ Pak Drajat merogoh kantung celana dasarnya, lantas mengambil amplop berisi sejumlah uang.

“-sama uangnya juga kami kembalikan,” lanjut pria itu sambil meletakkan amplop di atas meja.

Kening ibu Nur berkerut, menatap amplop itu. “Lho, emangnya kenapa Mun? Bukannya itu bayaran untuk ramuan yang sudah saya pesan? Kalau soal motor, itu emang bukan bayaran, tapi sengaja saya belikan buat Bima.”

“Iya Bu, tapi maaf, kami enggak bisa terima,” sahut ibu Muna. “Itu terlalu berlebihan, soalnya...” Kalimat ibu Muna menggantung, wanita itu merunduk menyembunyikan rasa takutnya.

“Soalnya kenapa Muna?” Tegas pak Suta.

Ibu Muna menghela napas, menatap resah kepada pak Suta. “Soalnya ramuan yang untuk ibu Nur, itu ramuan biasa, Cuma untuk menghilangkan sakit perut.”

“Maksudnya Muna,” celetuk ibu Nur. “Kamu bohongi saya?”

“Bukan Bu,” sahut ibu Muna cepat.

“Terus?” tanya ibu Nur.

Lagi, ibu Muna menghela napas, mengusir rasa gugup yang melanda dirinya. “Jadi ramuan yang saya buat untuk ibu Nur supaya bisa hamil, itu ketuker sama jamu sakit perutnya Bima.”

“Lho, kok bisa?”

Di ruang berbeda, keempat putra ibu Nur dan pak Suta hanya saling pandang, dengan wajah yang terlihat bingung. Mereka sama sekali tidak tahu kalau ibunya ingin hamil lagi.

Mendengar itu, Lanang mendesis, menatap sinis kepada Bima. “Ceroboh,” desis laki-laki itu. Namun-

Deg!

Seketika bola mata Lanang melebar, saat laki-laki itu mengingat sesuatu. Rasa cemas tiba-tiba datang, membuat napas laki-laki itu terdengar memburu.

“Terus apa ramuan untuk membuat rahim supaya bisa hamil, diminum juga sama Bima?”

Pertanyaan ibu Nur membuat Lanang menelan ludah, menatap tegang kepada Bima yang sedang duduk sambil merundukkan kepala.

Sekujur laki-laki itu terasa merinding.

Ibu Muna menghela napas panjang, wajahnya yang lesu menatap lurus ke arah ibu Nur. “I-iya Bu, ramuan yang untuk ibu Nur, diminum sama Bima.”

Deg!

Mendengar itu bola mata Lanang semakin membulat. Tubuh gagah itu gemetar, perasaan tidak enak datang merasuki hatinya.





tbc

Lanang-nya Bima {Mpreg}Où les histoires vivent. Découvrez maintenant