LB ~27~

10.3K 1.4K 214
                                    

Bu Nur menghela napas gusar. Melalui cermin yang menempel pada lemari pakaian, wanita itu menatap pantulan dirinya. Wajahnya terlihat murung melihat perutnya yang besar, namun bukan karena sedang hamil. Melainkan karena tubuh wanita itu memang aslinya gemuk, hingga membuat perutnya gendut.

Menggunakan telapak tangan ibu Nur mengusap lembut perut gendutnya. "Pak, udah hampir empat minggu kok ibu belum ngerasain tanda-tanda hamil ya?" Lantas berjalan ke arah ranjang dimana ada pak Suta sedang berbaring di sana.

"Mungkin belum," sahut pak Suta. "Sabar aja dulu."

Lagi, ibu Nur menghela napas sambil menjatuhkan pantatnya di tepi dipan, disamping sang suami. "Tapi ibu cemas." Wajah murung wanita itu menatap lesu pada suaminya yang kini sudah duduk menyandar di kepala ranjang berwarna coklat tua, dengan ukiran bunga-bunga.

"Ibu inget betul kata-kata eyang Turonggo, kalau anak ke supuluh kita udah dewasa, tanda-tanda kutukan itu akan datang pak. Cuma mantu laki-laki yang bisa menyelamatkan kita dari kutukan itu."

Hampir tiap malam wanita itu mengatakan kalimat yang sama. Bahkan sering. Tepatnya pada saat ia teringat prihal kutukan yang menyeramkan itu. Semua itu disebabkan karena waktu yang ditentukan sudah semakin dekat.

"-sekarang Lanang umurnya udah sembilan belas, udah masuk dewasa pak. Kalau ibu belum hamil, ibu takut nanti akan terlambat. Ibu nggak mau kehilangan anak-anak kita, ibu nggak mau mereka mengalami hal buruk."

Pak Suta menghela napas, "tenang bu," ucapnya.

Hanya kalimat itu yang bisa ia sampaikan tiap kali istrinya mengeluh soal kutukan. Mau bagaimana lagi, pria itu juga tidak bisa melakukan apapun selain menungu istrinya hamil anak perempuan, yang nantinya akan memberi ia menantu laki-laki.

Kalau boleh jujur, pak Suta juga sama seperti istrinya, khawatir dan cemas.

"Ibu takut."

Lagi, pak Suta menghela napas, menatap sang istri yang juga sedang menatapnya cemas.

Tidak ada yang tahu, dibalik kemewahan dan kebahagiaan pasangan lanjut usia itu, ternyata menyimpan rahasia besar yang membuat mereka tidak bisa hidup tenang. Perasaan takut semakin terasa mencekam sejak sembilan belas tahun lalu, setelah anak ke sepuluhnya lahir berjenis kelamin laki-laki.

Karena kebanyakan mata hanya melihat dari luarnya saja, sedangkan yang di dalam, mata tidak akan pernah tahu. Seindah-indahnya milik orang, milik kita jauh lebih indah-- untuk kita.

***

"Makasih."

Hanya kalimat singkat yang terdengar ketus setiap kali Bima diantar pulang oleh Lanang. Ramaja itu tidak pernah sekalipun menyuruh Lanang untuk mampir walaupun hanya sekadar berbasa-basi. Menurut Bima juga percuma, Laki-laki itu selalu menolak dengan kata-kata yang lebih ketus darinya. Ditambah dengan kondisi Bima yang sedang tidak enak badan, remaja itu semakin malas berbicara dengan cowok itu.

"Jangan lama-lama."

Suara Lanang yang terdengar angkuh memaksa Bima menghentikan langkah, lantas memutar tubu menatap heran kepada Lanang.

"Kenapa emangnya?" Tanya Bima.

"Belajar motor lah, apa lagi emang?" Sahut Lanang.

Sekedar informasi, hingga detik ini, Lanang memang belum sukses mengajari Bima naik motor. Mau bagaimana lagi? Remaja itu benar-benar lelet, dan sangat penakut. Kondisinya yang sedang tidak fit selalu dimanfaatkan oleh Bima untuk dijadikan alasan supaya tidak belajar naik motor.

"-ge er amat," lanjut Lanang mencibir.

Bima memutar bola matanya. "Bukan masalah GR, tapi hari ini kan emang bukan jadwal belajar motor?"

Lanang-nya Bima {Mpreg}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang