LB ~49~

11K 1.1K 82
                                    

"Terimakasih banyak ya Mun, Drajat, kalian udah mau nerima lamaran kami," tutur ibu Nur saat sedang mengantar Bima dan kedua orangtuanya sampai ke depan teras.

"Sama-sama Bu," sahut pak Drajat. "Yang dikatakan Bima sama kami tadi malam, emang bener."

"Emang Bima ngomong apa?"

Sebelum tidur, Bima dan kedua orangtuanya memang berbicara panjang lebar, prihal keputusannya menerima lamaran pak Suta dan ibu Nur. Setelah mendengar penuturan Bima, akhirnya ibu Muna dan pak Drajat ikhlas menerima kenyataan itu.

"Semua orang tau, pak Suta dan ibu Nur orang baik. Ibu Nur juga nggak mau nerima apa yang mau kita kembalikan, padahal, udah jelas kalau ramuan itu ketuker. Selain juga lagi bingung soal lahiran Bima nanti, anak yang dikandung Bima butuh Lanang, bapak kandungnya."

Penjelasan pak Drajat membuat ibu Nur mengulas senyum, menolah pada remaja berwajah kalem yang sedang berdiri di samping pria itu.

"Terimakasih ya, Bim." Tangan ibu Nur terulur, telapak tangannya menyentuh perut Bima, lantas mengusapnya. "Jaga kehamilan kamu, biar sehat. Kalau kepingin apa, kamu ngomong aja sama ibu, nggak usah sungkan."

Bima menelan ludah, merasakan usapan telapak tangan ibu Nur di perutnya. Wajahnya terlihat salah tingkah menatap menatap wanita itu. Bima merasa, ibu Nur memperlakukan dirinya seperti seorang perempuan.

"I-iya Bu, tapi aku laki-laki," ucap Bima mengingatkan.

Ibu Nur dan yang lainya tersenyum nyengir, mendengar kalimat konyol Bima.

"Justru karena kamu laki-laki, Bim," sergah pak Suta. "Makanya kami seneng, kamu udah menyelamatkan keluarga kami."

"Tapi Lanang kayaknya masih belum bisa nerima ya, pak?" Celetuk ibu Muna.

Wajah wanita itu terlihat gelisah, memikirkan Lanang yang belum menunjukkan batang hidung sejak laki-laki itu memukul meja makan, lantas pergi begitu saja tanpa kata.

"Kamu jangan khawatir Mun," sahut ibu Nur. "Lanang itu sebenarnya anak yang nurut. Dia nggak pernah menolak apa yang saya suruh. Walaupun sambil marah, semua dikerjakan sampai selesai."

Bima mengulas senyum, merasa sependapat dengan wanita itu.

Sementara ibu Muna menghela napas gusar, "tapi ini kan beda, Bu," ucapnya.

"Soal Lanang jangan terlalu dipikirin Mun, biar nanti saya yang ngomong lagi sama dia."

Ibu Muna tersenyum tipis, "iya, Bu." Kemudian ia menoleh pak Suta. Wanita teringat sesuatu yang ingin ia tanyakan, namun tidak pernah mendapat kesempatan. "Oh iya pak, saya tanya sesuatu."

"Tanya apa Mun?" tanya pak Suta.

"Soal kalung yang pernah bapak kasih buat Bima, apa itu ada hubungannya sama," Bu Muna menjedah kalimatnya. "Sama Laras pak. Soalnya Bima pernah di datangi mahkluk gaib, tapi berwujud Lanang."

Deg!

"Apa? Laras pernah nemuin Bima menyerupai Lanang?" Tegas pak Suta.

"Iya pak," jawab ibu Muna.

"Duh gimana ini pak?" Panik ibu Nur. "Berarti dugaan kita bener pak, Laras udah tahu kalau Bima mau jadi mantu kita. Kita harus cepet bertindak, pak."

"Tenang Bu," ucap pak Suta, lalu menatap ke arah Bu Muna. "Itu kalung emang sengaja saya kasih buat jagain Bima. Soalnya Bima pernah bilang kalau, kalau dia pernah beberapa kali liat wujud Laras. Itu kalung batu giok dari guru saya Mun, udah di isi sama dua khodam yang lebih tinggi dari Laras."

Pak Suta menoleh ke arah Bima. "Kamu masih pakai kalung itu kan, Bim?"

Telapak tangan Bima refleks menyentuh dadanya, lantas-

Deg!

Remaja itu tersentak saat telapak tangannya tidak merasakan jendolan bulat di sana. Sekedar ingin memastikan, ia buru-buru memasukkan telapak tangannya kedalam kaus, melalui kera baju. Wajahnya mendadak panik saat tidak menemukan kalung itu di lehernya.

"Kenapa Bim?" Tegur ibu Muna.

"Bu, kalungnya enggak ada."

"Duh Bima, kamu gini mana?" Omel ibu Muna. ''Kamu taro dimana? Lemari?"

"Enggak Bu," sahut Bima cepat. "Aku nggak pernah lepas kalung itu."

Setelah mengatakan itu, Bima menelan ludah. Remaja itu teringat dengan kejadian pada saat Yono dan Bayu akan melakukan pelecehan padanya. Bima berpikir, mungkin kalung itu lepas dan jatuh pada saat ia meronta.

"Emang pas kamu mandi enggak liat, Bim?" Tanya pak Drajat.

Kening Bima berkerut, "a-aku lupa bu," gugup remaja itu.

"Bima, kamu ini ceroboh," kesal ibu Muna.

"Sudah-sudah," ucap pak Suta menenangkan ibu Muna.

"Terus gimana ini pak?" Panik ibu Nur. "Kalau Laras nanti nemuin Bima lagi, bisa bahaya pak."

"Sementara Bima biar tinggal disini dulu sampai kalungnya ketemu-"

Mendengar itu Bima menelan ludah, lantas membatin-- "tinggal disini?"

"-Drajat kamu tolong cari kalung itu sampai ketemu ya," lanjut pak Suta. "Mudah-mudahan, kalungnya enggak sampai jatuh ke lantai."

"E-emang kenapa kalau jatuh ke lantai, pak?" Panik Bima.

"Bapak lupa kasih tahu kamu Bim, kalau itu sampai jatuh ke lantai, maka kalungnya bisa ilang, balik lagi ke pemilik pertama. Sementara pemilik pertama itu guru bapak, orangnya sudah sudah ninggal, jadi bakal susah nyari kalung itu.''

Penjelasan pak Suta tentu saja membuat Bima kembali menelan ludah, hingga bola matanya melebar. Jadi kalau kalungnya hilang, apa artinya ia harus tinggal di sini terus?

"Iya pak, nanti saya cari kalungnya," jawab pak Drajat. "Tapi apa Bima harus tinggal disini pak? Dia kan belum nikah sama Lanang."

"Nggak ada pilihan lain Drajat," sahut pak Suta. "Rumah ini aman dari Laras, semua pagar udah saya kasih penangkal. Yang penting, sebelum malem Bima jangan sampai keluar dari pintu gerbang."

Mendengar itu bulu kuduk Bima merinding. Remaja itu terlihat mulai ketakutan.

"Terus, kalau eyang Turonggo dia benar-benar enggak bisa keluar dari Goa Batu Padang itu pak?" Sela Prapto. Dari tadi pria itu hanya menyimak.

"Selama enggak ada yang nyambut paku yang udah bapak tancep di mulut Goa, eyang Turonggo enggak akan berani keluar," jelas pak Suta. "Tapi kalau Bima udah resmi jadi mantu keluarga kita, dia akan aman walau paku itu udah dicabut."

"Berati, secepatnya kita harus nikahkan Lanang sama Bima pak," usul Prapto.

Pak Suta menjelaskan. "Nggak bisa secepatnya, kita juga harus nentuin tanggal yang baik. Nanti kalau urusan Hendro udah selesai, bapak cocokan hari dan tanggal lahirnya Lanang sama Bima."

Ibu Muna menghela napas, wajahnya terlihat lesu menatap sang putra. "Yaudah Bim, sementara kamu tinggal disini nggak apa-apa ya? Biar aman."

"Selamanya juga boleh kok Mun," celetuk ibu Nur. "Bima kan calon mantuku, rumah ini akan jadi rumah juga."

Bima terdiam, entahlah yang sedang ia dengar ini, kabar baik atau kabar buruk. Remaja itu masih belum mengerti dengan apa yang sedang ia alami.

***

Note; tolong jangan tanya lagi bakal tamat di wp apa enggak ya ges, kan udah sering banget di jelasin ini nanti tamat di wp ( Cuma 18+ dan Extra yang bisa dibaca di karya karsa pdf dan buku)

Lima hari setelah TaMaT chap 50 sampai TaMaT di hapus permanen untuk kepentingan percetakan.


Terimakasih.

Lanang-nya Bima {Mpreg}Where stories live. Discover now