BAB 1 ~ 📋 LAPORAN 📋

40 16 35
                                    

Met malam ....

Maaf baru sempat update malam ini .... 🙏🙏🙏 Ga papa lah ya ... yang penting janjiku kemaren udah kubayar... hehe... 😅😅 kebanyakan ngeles authornya .... #plak

Dahlah, langsung baca aja ya...😁
Jangan lupa kasih vote dan komen ya...😘

☕☕☕

Abraham Tanujaya baru saja meletakkan gagang telepon ketika indra pendengarannya menangkap teriakan panik seseorang. Kedua alis tebalnya berkerut mendengar suara lantang tersebut. Embusan napas berat lolos dari bibir tipis berwarna merah kecokelatan.

"Hmm. Apa lagi sekarang?" desah pria yang usianya di akhir empat puluhan itu. Tangan kanan meraih cangkir berisi cairan hitam yang tinggal separuh. Tidak ada uap yang mengepul dari cangkir besar berbahan keramik itu. Sementara tangan kirinya memijit-mijit pelan pelipis kirinya. Tubuhnya duduk tegak di kursi empuk beroda berbahan kayu jati dengan sandaran tinggi. Dua buah jendela tinggi dengan daun jendela terbuat dari kaca berangka kayu jati yang saat ini terbuka ke arah pekarangan samping menjadi latar belakang.

Aroma kopi memenuhi ruang kerja berukuran lima kali lima meter dengan langit-langit yang tinggi. Sebuah meja kerja besar ada di hadapan Tanujaya. Di atasnya, di sisi kiri, terdapat bertumpuk-tumpuk berkas. Sebuah telepon kabel yang warnanya sudah berubah—awalnya putih dan kini menjadi putih kekuningan saking tuanya, bahkan tulisan angka pada tiap tombol hampir sebagian besar menghilang—diletakkan di samping tumpukan berkas tersebut.

Bergeser ke kanan, sedikit jauh, ada sebuah kalender meja keluaran sebuah bank swasta. Di sebelah kanannya lagi terdapat sebuah foto berwarna seukuran kartu pos dengan pigura kayu berukir. Beberapa bungkus plastik berisi bubuk cokelat tua dan butiran biji kopi tergeletak di depan foto tersebut. Di setiap bungkus plastik terdapat label bertulisan tangan, berisi jenis-jenis kopi. Cangkir keramik yang isinya diminum oleh Tanujaya tadi diletakkan di sisi kanan yang dekat dengan dirinya.

Sebuah buku tulis besar dengan sampul tebal terbuka lebar di hadapan Tanujaya. Lembaran kertasnya hampir dipenuhi oleh tulisan tangan dengan tinta hitam dan sebagian kecil warna biru. Di tengah buku ada sebuah pulpen mekanik berwarna hitam mengkilat dengan aksen emas melingkari sambungan pulpen, bilah penjepit, dan tombol on/off di pangkal pulpen. Sebuah swipoa dari kayu berwarna cokelat kehitaman yang bijinya agak besar-besar dan halus mengkilat karena sering disentuh tergeletak di ujung kanan buku besar yang terbuka itu.

Dua buah lemari kayu dengan kaca tembus pandang di ketiga sisinya berdiri di dinding sebelah kiri. Satu lemari berisi fail-fail arsip, sementara lemari yang lain berisi puluhan buku. Di sudut ruangan yang lain terdapat satu set meja-kursi tamu. Kursi-kursinya terbuat dari rotan, sedangkan mejanya berbentuk bundar dari kayu, polos tanpa ukiran. Di atas meja tamu terdapat keranjang stainless yang dipenuhi air mineral dalam kemasan gelas plastik.

"Ju ... Juragan!" Suara teriakan itu terdengar lagi. Suaranya yang lantang, tetapi gagap, mendahului masuk melalui ambang pintu yang lebar. Beberapa detik kemudian barulah batang hidung sang empunya suara muncul. Seorang pemuda tanggung berdiri di ambang pintu dengan napas tersengal-sengal. Tubuhnya sedikit membungkuk dengan tangan kanan menumpu pada kosen pintu dan tangan kiri memegang dadanya.

"Ada apa, Jon?" tanya Tanujaya dari balik meja kerjanya. "Itu, sana," titah Tanujaya yang kasihan melihat salah satu karyawannya megap-megap sembari menunjuk meja tamu, "minum dulu!"

Joni yang masih sedikit tersengal-sengal jadi salah tingkah. Kulit wajahnya yang sudah kecokelatan bertambah gelap. Ia lalu berusaha mengatur napas dan berdiri tegak. "Ma ... Maaf, Juragan."

"Dah, nggak apa-apa, Jon. Masuklah! Ada apa?"

"A ... anu, i ... itu ... eh ...," gagap Joni yang sudah berdiri di depan meja kerja Tanujaya.

(Bukan) Ke Lain Hati ~ (TAMAT) ~ TERBIT E-BOOKWhere stories live. Discover now