BAB 10 ~ 💞 GARA-GARA KE LAIN HATI 💞

11 9 2
                                    

Malaaaam ...

Babah Tan dateng lagi yak...
Kali ini Babah Tan menyambangi rumah sebelah. Ada apa, ya, di rumah sebelah?? 🤔🤔
Yuk, langsung baca aja...
Jangan lupa vote ma komen ya... 🥰🥰

Happy reading..

💞💞💞

Boentoro tengah meracik tembakau ketika Theo memasuki ruang kerjanya. Ibu jari dan jari telunjuknya sedang menjimpit tembakau yang baru saja digosok-gosok hingga rontok menjadi serpihan-serpihan kecil. Jimpitan tembakau tersebut dimasukkan ke dalam mangkuk pipa meerschaum—salah satu dari sekian banyak koleksi pipa cangklongnya yang berkualitas bagus dan berharga hingga jutaan rupiah. Kumpulan koleksi pipa cangklong berharga lainnya disusun di dalam lemari kaca tembus pandang—yang selalu terkunci—yang menggantung di dinding di belakang meja kerjanya. Aroma tembakau yang memenuhi seluruh ruang kerja terasa tajam menusuk indra penciuman.

Di tengah meja kerja yang sudah dibersihkan dari segala tetek bengek berkas yang kini menumpuk di sisi kiri meja, terhampar peralatan untuk mengisap tembakau. Jika sedang santai, Boentoro kerap menyisihkan waktu barang dua puluh hingga empat puluh menit hanya untuk menikmati aroma dan rasa tembakau. Jadi, segala peralatan yang ia butuhkan selama menikmati tembakau selalu berada dalam jangkauannya.

Kaleng tembakau dengan potongan-potongan tembakau tidak teratur yang isinya tinggal setengah, terbuka di hadapan Boentoro. Di sampingnya terdapat pemantik khusus untuk pipa yang tampak elegan dengan bahan logam berwarna hitam, tamper untuk pipa berbahan kuningan, sejumlah pembersih pipa, dan kain kasa. Segelas besar teh pahit kesukaannya berada di sisi kiri meja, bersebelahan dengan tumpukan berkas. Agak jauh sedikit dari gelas teh, terdapat dudukan pipa berbentuk huruf S dengan posisi horizontal.

Boentoro menatap sekilas ke arah Theo yang tengah melangkah. Hidung mancung putra sulungnya itu mengernyit. Tak lama kemudian terdengar suara Theo yang mengingatkan, "Berhentilah mengisap tembakau, Pa! Nanti Papa bisa kena kanker mulut dan tenggorokan atau paru-paru."

Boentoro mendengkus sinis dalam hati. Ia yang tengah memadatkan tembakau di bagian mangkuk pipa dengan tamper melirik sekali lagi pada Theo. Alisnya yang hitam tebal saling bertautan. Ia lalu kembali menekuri kegiatannya meracik tembakau. Jari-jemari tangan kanannya yang sedikit gemuk kembali menjimpit tembakau dan menggosok-gosoknya menjadi serpihan.

Tanpa menghiraukan teguran putranya, Boentoro bertanya dengan nada tak senang, "Ada apa ini?" Tatapan mata sipitnya yang tajam terarah ke balik punggung Theo di mana istrinya tengah berjalan.

"Pa, aku mau tanya sesuatu. Bisakah Papa menghentikan dulu meracik tembakaunya?"

"Gak bisa. Kalau mau tanya, ya, tanya saja. Jangan merusak kesenangan Papa." Boentoro kembali memadatkan tembakau dengan tamper.

Theo mengembuskan napas panjang. Boentoro kembali melirik di tengah kesibukan tangannya yang bergerak menekan-nekan tembakau. Selang beberapa detik, akhirnya tangan kiri Theo menarik kursi yang berseberangan dengannya. Boentoro tahu jika putra sulungnya itu tidak suka merokok, apalagi menggunakan pipa. Biasanya, anak itu selalu menjauh ketika ia tengah asyik menikmati tembakau. Sementara istrinya tak pernah protes sedikit pun selama puluhan tahun ia mengisap pipa tembakau. Wanita itu kini sudah duduk di salah satu kursi sofa yang ada di dalam ruangan.

"Aku udah tahu niat Papa selama ini. Kenapa Papa tega misahin aku sama Ling-Ling? Apa alasannya?"

Kegiatan Boentoro yang tengah menggerakkan pemantik di sekitar permukaan tembakau sambil menarik napas panjang melalui ujung pipa tiba-tiba terhenti. Ia menatap tajam ke arah putra sulungnya. "Apa maksudmu?"

(Bukan) Ke Lain Hati ~ (TAMAT) ~ TERBIT E-BOOKWhere stories live. Discover now