BAB 3 ~ 💣 SABOTASE? 💣

22 12 13
                                    

Aloha .... 🙋‍♀️

Ketemu lagi sama Babah Tan .... 

Babah Tan-nya lagi puyeng nih ... tengokin yuk .... 😁

Jangan lupa kasih bintang ma komen yak.... 🥰🥰

☕☕☕

Senyum Tanujaya langsung menghilang begitu Joni berbelok melewati ambang pintu. Ia memutar kursi yang didudukinya menghadap jendela tinggi. Tubuhnya disandarkan ke punggung kursi. Matanya terpejam dengan kedua alis saling bertaut. Tangan kanannya memijit-mijit pangkal hidung mancungnya. Suara desahan lirih lolos dari bibir tipis berwarna merah kecokelatan itu.

Di usianya yang hampir setengah abad, Tanujaya masih terlihat tampan. Wajahnya yang persegi tampak bersih meskipun kulitnya sedikit kecokelatan karena sering terpapar sinar matahari. Rambut hitam tebal yang dipotong pendek dengan sedikit uban di sana-sini menambah ketampanannya. Kedua ujung bibirnya sedikit terangkat yang selalu menimbulkan kesan tengah tersenyum. Di pipi sebelah kiri senantiasa muncul dekik kecil setiap kali Tanujaya tersenyum atau tertawa. Meskipun tidak bisa dibilang kurus, tetapi dengan tinggi tubuh yang mencapai 175 centimeter itu, Tanujaya masih terlihat tegap dan gagah.

Suara orang-orang yang tengah bekerja sayup-sayup terdengar memasuki ruang kerja lelaki yang merupakan generasi kedua dari keluarga yang berkecimpung dalam usaha pengolahan kopi. Mendiang ayah dan ibunya yang mengenalkannya pada dunia kopi ketika mereka masih tinggal di Wonosobo. Kecintaannya pada kopi membuatnya meneruskan usaha sang ayah hingga detik ini. Di saat-saat tertentu, terutama ketika ia membutuhkan pengalih perhatian, ia bisa menghabiskan banyak waktu untuk memilih biji kopi, menyangrai, menggiling atau meracik kopi yang kemudian akan dinikmatinya sendiri, kecuali ketika putra sulungnya datang berkunjung. Putri bungsunya, Lusiana, tak suka minum kopi, tetapi bersyukurlah ia karena putrinya itu masih mau membantu mengelola usaha pengolahan kopinya.

Setelah beberapa menit berlalu dalam diam, Tanujaya kembali memutar kursinya. Ia kemudian meraih bingkai foto di ujung meja. Mata cokelat tua yang biasanya berbinar-binar dan memancarkan tawa itu kini menatap sendu pada sosok yang berada dalam bingkai foto.

Fotonya menampilkan seorang perempuan muda tengah tersenyum riang menatap kamera. Senyumnya tak hanya tersungging di bibir mungil berwarna merah muda alami, tetapi juga terpancar di matanya yang juga menyorotkan kecerdasan. Kedua bola mata bermanik hitam itu tak memiliki lipatan mata pada kelopaknya. Rambut hitam kemerahan yang tebal dan panjang, tetapi tampak halus, membingkai wajahnya yang cantik berbentuk oval. Kulitnya terlihat halus bak porselen berwarna putih susu sedikit gelap. Perempuan muda itu tengah duduk pada sebuah batu besar di tepi kolam ikan, di sebuah halaman rumah. Rok terusan selutut tanpa lengan berwarna biru muda dengan motif bunga-bunga pada ujung rok menguatkan aura kecantikan dan keceriaan yang terpancar dari sosok perempuan muda itu.

"Aku sangat merindukanmu, Istriku," gumam Tanujaya dengan lirih. Ibu jarinya mengusap-usap wajah perempuan muda pada foto itu. Ritual itu selalu ia lakukan setiap kali memandang foto mendiang istrinya.

"Aku sangat membutuhkanmu, Sayang. Kenapa kamu pergi begitu cepat?" keluh Tanujaya. Lelaki itu kerap melontarkan kalimat-kalimat tersebut setiap kali merasa gundah. Untungnya, kegundahan itu jarang terjadi sejak putra-putrinya memasuki dunia kampus. Baru kali ini ia merasakan kegundahan yang cukup mengganggu setelah sekian lama.

Setelah puas memandang foto mendiang sang istri tercinta, Tanujaya meletakkan kembali bingkai foto itu ke tempat semula. Sebelum memusatkan perhatian pada kejadian-kejadian tak biasa yang akhir-akhir ini bermunculan, ia menatap sekali lagi pada wajah mendiang sang istri. Bantu aku, Sayang.

(Bukan) Ke Lain Hati ~ (TAMAT) ~ TERBIT E-BOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang