05 | ᴀᴡᴀᴋᴇɴɪɴɢ

1.2K 303 144
                                    

Warning: Cerita ini tidak cocok dibaca oleh anak di bawah 15 tahun karena mengandung tindak kekerasan, kata-kata kasar, dan konten lainnya yang dapat mengganggu kenyamanan. Mohon dibaca dengan bijak. Terima kasih.

⚠️ 𝐓𝐫𝐢𝐠𝐠𝐞𝐫 𝐰𝐚𝐫𝐧𝐢𝐧𝐠 // 𝐜𝐮𝐬𝐬𝐢𝐧𝐠, 𝐝𝐞𝐩𝐫𝐞𝐬𝐬𝐢𝐨𝐧, 𝐚𝐧𝐱𝐢𝐞𝐭𝐲, 𝐯𝐢𝐨𝐥𝐞𝐧𝐜𝐞, 𝐛𝐥𝐨𝐨𝐝, 𝐠𝐨𝐫𝐞 ⚠️

ʙᴇꜱᴛ ʀᴇᴀᴅ ɪɴ ᴅᴀʀᴋ ᴍᴏᴅᴇ!
ᴘʟᴇᴀꜱᴇ ᴛᴜʀɴ ᴏɴ ᴅᴀʀᴋ ᴍᴏᴅᴇ ᴏɴ ʏᴏᴜʀ ᴀᴘᴘꜱ!

•────⋅☾ 🐺 ☽⋅─────•

Ibu Hiroto, Ōkami Harue, menderita penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) selama kurang lebih tiga tahun sebelum akhirnya meninggal. PPOK adalah kelompok penyakit paru-paru yang menghalangi aliran udara sehingga membuat pengidapnya kesulitan bernapas.

Lebih spesifiknya, penyakit yang merenggut nyawa Harue adalah kombinasi mematikan antara bronkitis (infeksi atau radang cabang tenggorok) dan emfisema (kerusakan pada alveolus). Penyakit tersebut disebabkan karena sebelumnya Harue bekerja di pabrik industri yang penuh dengan bahan kimia serta zat iritasi.

Hiroto sangat tahu tentang itu. Ibunya jatuh sakit karena bekerja sendirian untuk menghidupinya. Dan Hiroto juga tahu, PPOK termasuk penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Perawatan hanya memperlambat kematian pengidapnya karena belum ditemukan obat untuk penyakit tersebut.

Pada akhirnya, waktu punya cara sendiri untuk memutus ikatan manusia.

Para pelayat berpakaian hitam mulai beranjak membubarkan diri. Pemakaman Ōkami Harue telah usai, namun suasana duka masih terasa. Tidak hanya kerabat dan tetangga keluarga Ōkami saja yang berziarah, tetapi teman-teman sekelas Hiroto juga ikut melayat. Mereka berusaha menghibur dan menabahkan hati Hiroto, meskipun sepertinya itu sia-sia.

Karena Hiroto tampak tersenyum seperti biasanya. Senyuman tipis yang melengkung diikuti mata tertutup. Tidak ada tanda-tanda kesedihan di wajahnya, seperti mata sembab atau kulit memucat. Hiroto bahkan bisa berbicara normal kepada teman-temannya yang berziarah, berterima kasih karena mereka turut berduka.

"Ōkami tegar sekali, ya..." puji ketua kelas 1-1. "Sejak kecil dia diasuh ibunya seorang diri, bukankah seharusnya dia sangat sedih saat ibunya meninggal?"

"Kurasa dia berusaha terlihat tegar karena tidak ingin membuat orang lain khawatir," Chifuyu berhenti melangkah dan menoleh jauh ke belakang, menatap Hiroto yang masih duduk di depan batu nisan ibunya. "Dia pasti akan melepaskan semuanya saat sendirian."

Hiroto duduk bersila di depan batu nisan bertuliskan "Ōkami Harue". Meski rombongan pelayat telah pergi, dia enggan berpindah dari posisinya sekarang. Ibunya telah tiada, namun hati Hiroto masih belum bisa menerima kenyataan pahit tersebut. Tentu saja, semua perasaan itu disembunyikan oleh senyuman palsu yang terukir di wajahnya.

"Daijobu, Okaa-san. Aku tidak menangis, kok," Hiroto menarik dua sudut bibirnya dengan jari telunjuk, membentuk senyuman lebar, "Lihat? Aku tersenyum. Jadi, jangan khawatir. Aku baik-baik saja."

Hiroto adalah seorang pembohong berkedok senyuman. Semua ucapannya bertentangan dengan apa yang dia rasakan di hati. Sakit dan sesak. Rasanya ingin menangis kejer namun air matanya telah habis. Bagaimanapun juga, dia masih anak berusia 12 tahun.

"Baru kali ini aku melihat orang yang mampu menyembunyikan perasaannya dengan sempurna."

Suara pria asing itu membuat Hiroto tersentak dan menengok. Betapa terkejutnya dia mendapati seorang kakek tua duduk di sampingnya. Entah Hiroto yang terlalu larut dalam kesedihan atau memang si kakek itu yang pandai menyusup hingga tidak disadari kehadirannya.

ᴡᴏʟᴠᴇꜱTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang