LMP - 17

6 2 0
                                    

Tak terasa hari yang kutunggu tiba juga, yakni hari sabtu. Itu artinya nanti malam aku akan kencan dengan Ansell. Sementara Ari sudah pulang ke Bandung kemarin sore.

Saat ini aku tengah menuju parkiran bersama Ansell. Dia memaksa untuk mengantarku setelah tahu jika Leah sudah pergi dengan Robby. Tanpa dipaksa pun sebenarnya aku pasti mau, siapa juga yang mau menolak diantar pulang oleh kekasih sendiri? Hahaha.

Sebelum sampai di parkiran, senyumku seketika sirna ketika mataku menatap seorang perempuan yang paling tidak kusenangi kehadirannya. Siapa lagi jika bukan Queen. Mau apa dia di sini? Bahkan dia sudah berani masuk ke wilayah sekolah.

Aku merasa genggaman tangan Ansell mengerat, sepertinya dia juga tidak suka dengan apa yang dia lihat sekarang.

"Ansell! Aku kangen banget sama kamu!" Awalnya, Ansell tetap memaksaku berjalan menuju ke parkiran dan menghindari Queen. Tapi kini yang kulihat mampu membuat tubuhku otomatis gemetar.

Berani sekali dia memeluk Ansell tanpa memedulikan keberadaanku yang berstatus sebagai kekasih dari laki-laki yang dia peluk dengan lancang.

Ansell segera mendorong tubuh Queen dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya tetap menggenggam tanganku. Seakan tak mau kehilangan. Bagus, memang itu yang aku butuhkan sekarang.

"Ish, kamu kasar banget sih," keluh Queen manja sambil mengelus kedua lengan atasnya.

"Gue nggak ada urusan sama lo."

"Kok kamu bilang begitu? Aku 'kan pacar kamu, Sayang. Aku jauh-jauh dari Bandung ke sini demi ketemu kamu, yang aku dapetin malah kamu bangga mamerin kemesraan kamu sama selingkuhan kamu ini!" pekik Queen sambil menunjuk-nunjuk ke arah wajahku.

Ucapan Queen tersebut berhasil membuat murid-murid yang juga menuju parkiran akhirnya berhenti karena penasaran. Bahkan kulihat beberapa dari mereka mulai mengeluarkan ponsel masing-masing. Sepertinya Queen memang sengaja membuat kegaduhan dan melayangkan fitnah untukku serta Ansell.

Genggaman tangan Ansell semakin menguat, bahkan sampai menyakitiku. Tapi aku tahu dia tidak sengaja melakukannya, dia sedang menahan diri untuk tak memakai kekerasan pada Queen. Jelas, jika sudah tidak bisa menahan diri, Queen mungkin hanya tinggal nama setelah ini.

Aku tidak mau pada akhirnya Ansell yang bertindak, jadi aku pun mengambil keputusan untuk mengambil alih. Lupakan tentang sopan santun kepada yang lebih tua, toh nenek sihir di depanku ini yang mencari masalah lebih dulu.

Dia pikir aku akan diam saja diperlakukan seperti ini? Mimpi saja sana!

Kulepas paksa genggaman tangan Ansell. Setelahnya aku mendekat ke arah Queen lalu menamparnya dengan sangat keras, hingga menimbulkan suara yang sangat nyaring. Aku puas melakukan itu, sudah lama aku ingin melakukannya. Akhirnya tercapai hari ini.

Sekilas aku bisa mendengar suara orang-orang di sekitar yang terkesiap, terkejut dengan aksiku.

"Nenek sihir, dengar baik-baik ya ... yang pacar Ansell di sini itu gue! Dia nggak punya pacar lain selain gue! Jadi jangan halu! Lo kalau punya gangguan mental, datangin itu psikolog atau psikiater, jangan malah datang ke sini!" ujarku dengan suara yang keras, nyaris berteriak.

"Nggak ada akhlak ya lo sama yang lebih tua! Udah ngerebut pacar orang, masih berani kasar lagi lo!"

Wah hebat, setelah kutampar sedemikan keras, otaknya masih belum bekerja dengan normal. Apa kurang keras ya? Aku jadi ingin menampar lagi.

"Gue nggak pernah pacaran sama Stefan!" pekikku tak sabar. Queen terlihat tekejut, mungkin dia tak menyangka aku akan menyebut nama Stefan di sini. "Lo pacaran sama Stefan, dan gue pacaran sama adiknya. Dari mananya gue ngerebut pacar lo? Ha? Jawab lo! Jangan mendadak gagu."

Love Me, Please! [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora