LMP - 07

7 2 0
                                    

Terhitung sudah empat kali ini aku berhasil membawa Ansell makan siang di kantin sekolah. Anehnya, menu makanan dan minuman kami selalu sama, seolah kami memang memiliki selera yang sama—selama tidak berhubungan dengan taoge yang sangat dibenci Ansell.

Menu kami kali ini nasi campur dan segelas es teh. Rasanya aneh sekali melihat laki-laki yang memiliki darah setengah bule makan nasi campur dengan lahap, seolah itu adalah menu favoritnya.

Ah, kalau diingat-ingat lagi, sudah lama aku tidak menyebut Ansell dengan sebutan laki-laki setengah bule.

Beberapa kali aku masih menemukan ekspresi risihnya berada di kantin, tapi tidak separah ketika pertama kali. Dan aku berharap, ini sesuatu yang bagus.

"Wah, ini keempat kalinya gue lihat Ansell makan di kantin. Hebat banget lo bisa bawa Ansell ke sini, Nai."

Aku sudah hampir saja membentak si pemilik suara tersebut, sebelum akhirnya aku sadar jika orang itu adalah sahabatku sendiri, Leah. Tak lupa juga dengan Robby yang berdiri tak jauh darinya. Oh, jangan lupakan juga dengan kedua tangan mereka yang sibuk memegang piring dan gelas, yang kuyakini itu menu makan siang mereka hari ini.

"Kita boleh duduk sini, 'kan?" Kali ini Robby yang bersuara.

Aku melirik panik ke arah Ansell, berniat meminta pendapatnya. Namun sebelum aku atau Ansell mengatakan apapun, pasangan pengganggu ini langsung bergabung bersama kami. Dengan Robby yang duduk di sebelah Ansell.

Aku menggigit bibirku tak nyaman. Aku takut Ansell merasa terganggu. Aku juga takut ini terlalu cepat bagi Ansell bergaul dengan orang lain sedekat ini.

Padahal seharusnya aku tidak perlu sepanik ini, toh Ansell bilang dia hanya tak nyaman dengan keramaian dan orang asing, tidak memiliki fobia terhadap apa pun.

Tapi tetap saja. Ini membuatku tak enak hati.

"Kak Robby, tukar tempat duduk sama gue! Biar gue yang di situ," ucapku pada Robby, padahal dia baru saja mendaratkan bokongnya di sana. Tapi, apa peduliku?

Saat ini aku hanya peduli dengan kenyamanan Ansell.

"Ya ampun posesif banget. Gue masih normal, Nai. Gue nggak ada niat rebut Ansell dari lo."

"Tukar tempat duduk atau lo sama Leah cari meja lain?"

Mendengar ancamanku, akhirnya Robby mengalah dan menuruti kemauanku.

Ya, setidaknya Ansell duduk bersebelahan denganku, orang yang sudah cukup akrab dengannya.

"Udah, biarin aja si Naila, Sayang. Dia pertama kali suka sama cowok, jadinya malah bucin banget," komentar Leah sambil tertawa. Lalu disambut tawa oleh kekasihnya.

Sayang? Astaga menjijikkan sekali mendengar suara Leah yang mendadak manja. Tapi aku memilih diam, tak menegur. Aku takut suasana semakin tak menyenangkan bagi Ansell.

"Lo udah dapat novel yang mau lo baca buat tugas Bahasa Indonesia, Ansell?" Leah bertanya kepada Ansell setelah menelan makanannya. Aku yang mendengar itu melotot ke arahnya.

Apa dia sedang menjalani aksi sok asik dengan Ansell?

Ragu-ragu, kutolehkan kepalaku ke arah Ansell. Menunggu reaksinya, melihat dia terganggu sedikit saja, aku akan langsung mendepak pasangan di depanku agar segera pergi.

Tapi yang kulihat adalah ekspresi santai Ansell. Setelah menyendokkan sesuap nasi dan lauk ke dalam mulut, Ansell menggeleng pelan sebagai bentuk menjawab pertanyaan Leah.

"Oh, ya? Naila punya beberapa novel, tuh. Pinjam aja sama Naila, tapi sayangnya novel romantis semua hahaha."

"Romance dewasa nggak ada, Yang?" tanya Robby dengan nada meledek.

Love Me, Please! [END]Where stories live. Discover now