LMP - 03

9 2 0
                                    

"Kalau dipikir-pikir ada untungnya lo sukanya sama Ansell, Ra."

Aku menatap Leah bingung. "Lah, kenapa emang?"

"Walaupun ganteng dan setengah bule kayak gitu, dia nggak populer di kalangan cewek-cewek. Gimana mau populer, cewek-cewek mana ada yang berani deketin dia. Apalagi dia sering pakai ekspresi nyeremin kalau diganggu. Jadi lo nggak punya saingan."

Ekspresi nyeremin? Maksudnya seperti ekspresi di waktu Ansell hampir menonjokku?

Aku bisa mengerti kalau memang itu ekspresi yang dimaksud Leah. Ekspresi Ansell saat itu memang menyeramkan dan berhasil membuatku takut. Tapi ekspresi itu pulalah yang membuatku menyukainya.

Entah kenapa saat itu aku merasa Ansell hanya berusaha terlihat menyeramkan saja. Aku yakin kalau dia orang yang baik.

"Ya, gue emang beruntung sukanya sama Ansell bukannya cowok lain. Di pertama kali gue jatuh cinta, gue nggak mau punya saingan yang bisa menghambat niat gue buat memiliki dia."

Aku mengingat kembali obrolanku dengan Leah kemarin lusa mengenai Ansell. Kalau dipikir-pikir lagi, aku merasa perempuan-perempuan lain begitu bodoh hingga tidak menyadari pesona dari Ansell yang begitu menarik dibandingkan laki-laki lain.

Tapi ada bagusnya kalau mereka terus-terusan tidak sadar, aku jadi mengoptimalkan usahaku tanpa perlu takut dengan adanya saingan. Peluangku untuk memiliki Ansell juga semakin besar.

Astaga, ini menakutkan. Aku jadi semakin ingin Ansell membalas perasaanku.

Aku ingin tahu bagaimana dicintai seorang Ansell. Membayangkannya saja membuatku bahagia. Apalagi kalau itu jadi kenyataan. Mungkin aku akan menjadi perempuan paling beruntung di dunia ini.

Selama sebulan ini, aku semakin gencar mendekati Ansell. Tidak ada lagi waktu tidur di jam istirahat. Julukan putri tidur sudah tidak berlaku lagi untukku. Sebaliknya, aku malah mendapat julukan baru dari Leah, yaitu ratunya bucin.

Ketika ada waktu luang di sekolah, aku akan mencari keberadaan Ansell. Sampai-sampai Leah menegurku untuk menahan diri, dia takut jika tindakanku yang seperti itu akan membuat Ansell ketakutan dan semakin menghindariku.

Aku tak berniat membuat Ansell takut. Aku hanya ingin dia menyadari dan melihat keberadaanku. Aku ingin dia terbiasa denganku.

Di mataku, Ansell seperti memiliki dunianya sendiri, dan dia sudah nyaman terjebak di sana tanpa mau keluar. Dia tak peduli meski dunia tersebut hanyalah semu.

Jika ingin membuat Ansell terbiasa dengan keberadaanku dan nyaman dengan itu, aku harus mengeluarkannnya dari zona nyamannya. Kalau perlu, aku akan menariknya paksa.

Aku ingin memberikannya kebahagiaan yang nyata, bukan kebahagiaan semu yang selama ini dia ciptakan sendiri.

Seperti saat ini, aku duduk dengan santai memandangi Ansell yang lagi-lagi sibuk dengan ponselnya. Baru-baru ini aku sadar jika Ansell selalu memainkan sebuah game di ponselnya selama jam istirahat berlangsung. Game yang dia mainkan bukanlah jenis yang sering anak laki-laki biasa mainkan, Ansell suka bermain teka-teki silang.

Ekspresi Ansell akan berubah serius ketika memainkan game tersebut. Mungkin jarang ada yang menyadari hal itu, karena yang membedakan ekspresi serius Ansell dengan yang biasa hanya dari matanya yang sedikit menyipit.

Aku bahkan baru menyadarinya ketika aku tidak melepaskan pandangan darinya dan memperhatikan setiap detail dari wajahnya.

Dia benar-benar menggemaskan. Dan tampan, tentu saja.

Love Me, Please! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang