Bab 2 Trouble

2K 333 18
                                    

Sampai hari telah berganti, mata Gendhis masih enggan untuk menutup. Meski badannya terasa lelah, tetapi kantuk tak kunjung datang. Membuatnya mengingat kejadian demi kejadian dimana masalah mereka terlihat jelas.

Ketika nafas teratur Puguh akhirnya terdengar, dia membalik badan menghadap suaminya. 

Gendhis tersenyum saat memandang wajah suaminya. Wajah lelaki yang tidak banyak berubah, masih terlihat seperti pertama kali dia melihatnya dari jauh.

Wajahnya selalu terlihat segar dan bersih, dengan sorot mata teduh yang membuat Gendhis merasa aman meski ketidaknyamanan selalu hadir saat dia berdekatan dengannya.

Lelaki yang hampir 27 tahun bertahan dengannya. Sabar menghadapi mood swingnya yang menguji kesabaran. Selalu mendukung apapun yang dikerjakannya. Lelaki yang dengan bangga Gendhis panggil sigaraning nyowo.

Tetapi wajah yang Gendhis lihat tadi malam terlihat berbeda. Ada ragu, marah dan juga sedih disana dan semua itu karena dirinya. Ketidakmampuannya untuk mengatakan apa yang ada di kepala dan rasa yang terpendam selama ini membuat semuanya kusut.

Didalam hati yang paling dalam, Gendhis mengakui bahwa rumah tangganya tidak sehat. Dia membenarkan apa yang Puguh katakan tadi. 

Entah kenapa setiap kali hanya berdua dengan Puguh, dia merasa tidak bisa lepas dan bebas. Karena Gendhis takut Puguh bisa melihat semuanya dan dia yakin suaminya akan pergi meninggalkannya.

Gendhis mengingat saat pertama kali Puguh memanggilnya Diajeng. 

"Kenapa Diajeng? Mas bisa memanggilku, Dek." 

Sampai saat ini jika dia mengingat jawaban Puguh, masih bisa mendatangkan rasa hangat di hatinya. Meski jawaban yang diberikan memang sereceh itu. 

"Karena Diajeng Putri bangsawannya Mas."

Air mata meleleh saat dia mengingat jawaban itu lagi. "Jika engkau tahu Diajeng kamu seperti apa. Masihkah Mas tetap disampingku?" 

Gerakan tiba-tiba Puguh membuatnya terkejut. Pasalnya saat ini Puguh meletakkan tangan kanannya di atas pundak Gendhis.

"Tidur, Jeng!" 

Gendhis langsung matanya rapat-rapat begitu dia merasakan tangan Puguh. Mengulang kalimat yang sama di kepalanya, berharap bisa mengusir pikiran-pikiran buruk yang selalu datang saat berdua dengan suaminya.

"Semua akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja."

Kata itu diucapkan dalam hati berulang ulang hingga akhirnya dia tertidur. 

Dalam tidurnya yang tidak tenang, Gendhis melihat kembali rentetan peristiwa yang membuatnya menjadi seperti ini. 

"Ini aib!" Mendengar kata itu, Gendhis langsung duduk dengan nafas tersengal sengal. 

"Diajeng, kenapa?!" 

Gendhis melihat Puguh dengan wajah takut. Apakah dia tahu?

"Jeng, kenapa?! Jangan buat Mas takut begini!" 

Nada kuatir terdengar jelas di suara Puguh membuatnya menahan air mata yang siap mengalir. Sebelum Puguh bertanya kembali, Gendhis berdiri meninggalkan suaminya dalam keadaan bingung.

Air mata yang ditahan akhirnya meleleh juga. Gendhis tidak ingin suaminya melihat dia dalam kondisi kacau.  

Yang Puguh dan semua orang boleh lihat adalah, Gendhis yang sempurna. Wanita kuat yang bisa menghadapi apapun.

Terkadang Gendhis ingin mengatakan semuanya, membuka semua yang selama ini dia dan keluarga tutup-tutupi. Tetapi membayangkan kemungkinan reaksi Puguh, membuatnya menekan keinginan itu.

Ini aib, bukan untuk dibagi kepada siapapun, termasuk suami sendiri. Kalimat yang sudah tertanam di kepalanya kembali membuatnya menangis. 

"Maafkan aku, Mas." 

Gendhis merintih di kegelapan rumah mereka, tanpa menyadari ada sepasang mata yang juga merintih sedih melihatnya.

Air matanya tak kunjung berhenti. Kepalanya penuh dengan berbagai skenario berbagai kemungkinan yang bisa terjadi jika Puguh mengetahui apa yang disimpan selama ini.

Ingin dia bisa berteriak untuk melonggarkan sesak di dada, mengeluarkan semua yang membuatnya tercekik dengan kenangan.

Mata Gendhis masih tertutup dan bibir seakan tak kenal lelah mengucapkan kalimat, "Semua akan baik-baik saja. Harus baik-baik saja."

Gendhis meremas tangannya saat bibir tak berhenti mengucapkan semua itu. 
Badan Gendhis tersentak saat tiba-tiba merasakan remasan di tangannya.

"Jeng, buka mata. Lihat Mas, please." 

Air matanya semakin deras saat merasakan Puguh mengusap pelan pipinya, menghapus air mata yang sepertinya tidak bisa berhenti untuk mengalir. 

Gendhis membuka matanya dan menunduk. Dia merasa tidak pantas melihat suaminya. Gendhis tidak bisa menolak saat Puguh menangkup pipinya dan membuatnya bisa melihat wajah kuatir suaminya.

"Diajeng kenapa?" 

"Maafkan aku, Mas." Bisiknya lirih dengan kepala semakin menunduk menahan sakit yang dia rasakan saat melihat wajah Puguh. 

Gendhis tak bisa menolak saat lengan kokoh Puguh melingkar di pundaknya. Dia juga tak kuasa menolak saat merasakan usapan lembut di punggungnya. 

Dia tak kuasa saat hati dan kepalanya menginginkan dua hal yang berbeda.

"Cerita, jika itu bisa mengurangi sesak dadamu. Mas disini,"

Meski badannya terdiam dan otak tidak berhenti memberi perintah untuk menolak pelukan Puguh, tetapi tangannya enggan untuk mendorong suaminya untuk menjauh. Untuk saat ini yang dia inginkan hanya satu, merasakan kehangatan pelukan Puguh. Sebelum semuanya menghilang.

"Maafkan aku, Mas."


Happy reading guys
Stay safe
Love, ya!
😘😘😘
Shofie

Make You Feel my LoveDonde viven las historias. Descúbrelo ahora