Puguh memandang wanita yang meringkuk di sampingnya. Matanya terlihat membengkak. Bekas air mata masih terlihat di pipinya. Pipi yang di mata Puguh terlihat lebih tirus. Kerutan di kening Gendhis kembali muncul. Dengan sabar jarinya mengusap pelan hingga kening mulus istrinya terlihat kembali. Dinginnya malam ini membuat tangis yang memilukan hati beberapa saat lalu semakin pilu.
Diajengnya tersiksa selama ini, dan Puguh tidak mengetahui itu. Rasa bersalah yang dirasakan membuatnya harus pergi meninggalkan Gendhis. Yang sayangnya membuat istrinya merasa ditolak bahkan ditinggalkan.
Lelaki yang pikirannya masih belum bisa istirahat itu, terlentang memandang langit kamar setelah memastikan istrinya tidur dalam keadaan tenang. Pikirannya kembali ke saat dimana wanita yang dia cintai menceritakan perbuatan lelaki pengecut itu padanya.
"Ibu memintaku untuk menikah dengannya waktu itu?"
Puguh meletakkan kembali gelas kopi yang sudah di bibir dengan sedikit keras hingga bersuara. Dia memandang istrinya yang sudah tenang dari banjir tangisnya dan saat ini masih setia memandang jendela.
"Diajeng bercanda, kan?"
"I wish. Tapi itulah yang terjadi. Meski Mas tidak terlalu dekat dengan Bapak dan Ibu, tapi bisa melihat karakter mereka, kan?"
Dia mengusap usap kasar wajahnya lalu memiringkan badan untuk memeluk istrinya. Mereka berdua sadar masih banyak yang harus dibicarakan dan diselesaikan, tetapi saat panggilan fajar terdengar dari ponsel, dia mengulurkan tangan pada Gendhis.
Tangan yang untuk beberapa detik dibiarkan tergantung seperti saat pertama mereka berkenalan. Seperti halnya saat itu, Gendhis menerimanya dengan senang hati.
Puguh membawanya langsung ke kamar mandi, membiarkan istrinya mengambil air untuk membasuh semua kesedihannya hari ini. Saat Puguh selesai, dia menemukan Gendhis bersimpuh menantinya.
Mata Puguh masih terbuka meski sinar matahari mulai memasuki kamar mereka. Dia masih setia memeluk istrinya, menikmati tarikan nafas teratur Gendhis yang membuatnya tersenyum sendiri.
Tangannya tidak berhenti naik turun pelan di punggung Gendhis. Dia ingin saat wanita dalam pelukannya ini terbangun dalam keadaan segar. Meski mendung masih terasa menggelayuti pikiran mereka berdua.
"Tidur, Mas!"
Puguh tersenyum mendengar perintah halus istri dalam pelukannya ini.
"Jangan senyum-senyum sendiri. Tidur!"
"Mas tidak bisa tidur karena sebenarnya nanti siang ada meeting sama Ara dan Tika."
Puguh terkejut saat tiba-tiba Gendhis yang beberapa detik sebelumnya nyaman dalam pelukannya dengan mata terpejam. Saat ini dia duduk bersila menghadap padanya dengan mata sedikit melotot.
"Mas bilang apa barusan?"
"Meeting sama Ara dan Tika."
Belum sampai Puguh menarik tangan Gendhis, wanita itu turun dari ranjang daa menuju kamar mandi. Tak lama kemudian dia keluar sambil membawa handuk untuk mengeringkan wajahnya yang masih terlihat basah.
"Jeng," panggil Puguh.
"Kita perlu bicara, Mas!"
"Sekarang?" Puguh bingung melihat sikap Gendhis yang tiba-tiba berubah. Meski bukan kaku seperti sedia kala, tetap saja membuatnya bingung.
"Iya, sekarang! Mas cuci muka dulu, aku siapkan sarapan lalu kita bicara."
Puguh mengerang menghadapi perubahan istrinya. Hati kecilnya kembali takut apakah istri yang baru saja dia dapatkan kembali beberapa menit lalu telah hilang kembali. Dengan berat hati, dia menyeret kakinya ke kamar mandi.
Dia menghembuskan nafas yang mengganjal di dadanya sebelum terbatuk karena tersedak saat melihat tulisan di kaca yang Gendhis tinggalkan untuknya. Hanya tiga kata sederhana yang membuatnya menghapus semua keraguan yang sempat datang.
Puguh bersandar di kusen pintu kamar memperhatikan Gendhis yang bergerak bebas di dapur. Sesekali dia bergumam kecil entah karena lupa memasukkan sesuatu atau bahkan terlalu banyak memasukkan bumbu.
Senyum tercetak jelas di bibir mereka berdua saat ini. Mensyukuri badai yang sudah berlalu kemarin malam. Badai dengan kekuatan super yang bisa menghempaskan rumah tangga mereka menjadi puing tak bersisa.
"Mas! Mulai kapan disitu?"
Wajah terkejut Gendhis menarik Puguh untuk mendekat. Memeluknya erat sebelum mengendorkannya dan berkata, "I love you too Diajeng."
Puguh melepas pelukannya setelah Gendhis memintanya untuk duduk.
"Aku tidak suka Mas bekerja sama dengan Tika!"
Bukan ini yang Puguh harapkan keluar dari bibir Gendhis pagi ini. Kenapa masalah Tika? Dia mengira akan mendengar rencana Gendhis untuk menyelesaikan masalah-masalahnya.
"Tika? Mas kira kita akan membicarakan masalahmu bukan masalah pekerjaan."
"Mas. Masalahku akan tetap menjadi masalah."
Puguh sudah bersiap untuk membantah saat dia merasakan remasan halus tangan Gendhis, "sampai aku menyelesaikannya. Percayalah, aku akan menyelesaikannya. Bukan untuk Mas, Ibu atau bahkan lelaki pengecut itu. Aku akan menyelesaikannya untuk diriku sendiri."
Ada rasa bangga menyeruak di hati Puguh saat mendengar kalimat itu dari bibir Gendhis. "Mas ada disini. Kapanpun Diajeng membutuhkan. Tetapi ada hal yang lebih penting untuk dibahas saat ini."
Puguh tertawa melihat kerutan di kening istrinya begitu dia menutup mulut. Tangannya dengan lembut mengusap kening itu hingga terlihat mulus kembali.
"Mas sering melakukan itu padaku, kan?"
"Diajeng, tahu?" Tanya Puguh dengan mata melotot tidak percaya, karena selama ini dia kira Gendhis tidak mengetahuinya.
"Terima kasih selalu menjagaku selama ini meski dalam tidurku. Maaf jika Mas merasa aku tidak pernah menghargai semua yang sudah Mas lakukan untukku. Aku juga harus meminta maaf, karena selama ini istrimu lalai dalam melaksanakan salah satu tugasnya, yaitu menunjukkan rasa sayang yang aku punya untukmu."
Puguh menarik Gendhis kembali. Dia memeluk dan mengusap pelan punggung istrinya beberapa saat. Menikmati tarikan nafas mereka yang seirama. Meresapi keberadaannya dan mensyukuri apa yang sudah dia punya selama ini.
"Mas akan melakukannya lagi. Jika harus mengulang semuanya kembali, Mas tetap akan mengagetkanmu di koridor seperti siang itu. Memilihmu bukan sesuatu yang Mas sesali karena sebenarnya Dia Yang Maha Kuasa atas Mas memilihkanmu untuk menjadi Istri dan Ibu bagi Anjas dan Mara. Terima kasih, sudah mau menerima uluran tangan tukang kebun kucel ini."
Puguh merasakan tubuh Gendhis bergetar pelan karena tangis. Namun dia bahagia karena tangis yang didengarnya saat ini berbeda dengan tangis semalam.
Tangis yang mengoyak jiwanya, membuatnya mempertanyakan peran dia sebagai suami selama ini. Mempertanyakan cinta yang dia punya untuk Gendhis.
"Aku tetap tidak suka Mas berbisnis dengan Tika!"
"Kenapa?"
"Karena dia memanggil Mas dengan nada yang dibuat-buat. Aku tidak suka wanita itu." Kata Gendhis sengit. Meski suaranya tidak terdengar jelas karena masih teredam dada Puguh, tetapi dia bisa mendengarnya dengan jelas. Istrinya cemburu, dan dia bahagia merasakan itu.
Badan mereka berdua terguncang karena Puguh tertawa terbahak bahak tanpa melepas lilitan pelukannya.
"Akhirnya ... begini rasanya kalau istri cemburu."
"Mas!"
Selamat pagi
Salam dari Surabaya yang dingin
Love, ya!
😘😘😘
Shofie

YOU ARE READING
Make You Feel my Love
Romance"You have to love yourself before you love someone else"