Bab 6 Dream

1K 223 18
                                    

Sepanjang usia pernikahannya, tidak pernah sekalipun Gendhis merasa sendiri dan sepi seperti malam ketika dia mendengar kata maaf keluar dari bibir suaminya. Pada saat itu yang terlintas di kepalanya hanya satu, Puguh pasti akan meninggalkannya.

Sepi yang dirasakannya memberi celah pada ingatan untuk datang kembali. Menghantui dan membuatnya melihat bayangan kembali menjadi wujud yang semakin jelas.

"Jangan, Mas. Jangan ...."
Gendhis memohon dengan air mata bercucuran sambil mencengkram bajunya yang Ragil tarik membuat beberapa kancingnya terlepas. "Jangan ...."

"Hayu."

Dia benci mengingat suara dan cara lelaki itu memanggilnya.
Dia membenci semua kenangan yang selalu muncul saat dia merasa sepi dan sendiri seperti ini.
Dia membenci kenyataan bahwa dia sudah mengecewakan satu-satunya lelaki yang selalu membuatnya merasa dicintai, aman, dihargai dan dipuja.
Dia juga benci rasa takut yang selama ini tersimpan di kepalanya. Namun satu hal yang paling dia benci adalah ketidakmampuannya untuk memberikan apa yang Puguh inginkan saat ini.

"Pakdhe dan Budhe-mu sudah menjelaskan semuanya, dan Ibu setuju kalau kalian berdua harus menikah. Secepatnya."

Gendhis menyibak selimut tebal yang beberapa saat lalu menjadi dinding pertahannya dari semua orang saat mendengar kalimat yang keluar dari bibir Ibunya. Dia merasa dikhianati bukan hanya oleh pemuda itu tapi juga oleh Ibunya sendiri.

"Menikah! Ibu ingin aku menikah dengan lelaki yang sudah melakukan itu padaku!? Dia memperkosaku, Bu!"

Gendhis melupakan sopan santun. Dengan air mata yang masih bercucuran dia membentak wanita yang sudah melahirkannya 18 tahun yang lalu.

"Ragil ndak memperkosamu, kan? Dia mencoba, tetapi ndak berhasil. Kamu berhasil melindungi diri dan juga melarikan diri. Jadi jangan bilang dia memperkosamu. Namun Ibu mengerti jika itu yang kamu rasakan, karena itu pula Ibu memutuskan untuk menyetujui permintaan mereka untuk menikahkan kalian berdua."

"Aku tidak mau menikah dengan lelaki pengecut seperti dia, Bu! Aku ingin dia bertanggung jawab, tetapi bukan dengan menikahiku."

Teriakan Gendhis membuat wanita paruh baya itu murka.
"Gendhis Hayuning Hapsari, kemana sopan santunmu!? Ibu ndak pernah ajari kamu untuk jadi anak kurang ajar seperti ini!"

Gendhis terkejut mendengar suara wanita yang selama ini selalu terlihat lemah lembut meski terkesan kaku.
"Kamu harus menikah dengan Ragil. Titik!"

"Tidak!"
Selama ini dia selalu menundukkan kepala di depan kedua orang tuanya, tak pernah sekalipun meninggikan suara. Kali ini dia merasa tak bisa lagi menahan diri untuk tidak melawan ibu kandungnya sendiri.
"Sekali lagi aku tegaskan! Aku tidak akan pernah setuju untuk menikahi pemerkosa itu!"

Lengan atasnya terasa perih saat kuku jari Ibunya menusuknya. Wajah murka Ibunya membuat kemarahan Gendhis semakin besar.
"Ibu ndak suka kamu melawan semua perintah Ibu seperti ini."

Tiba-tiba badannya terhuyung ke belakang saat lengan yang terlihat memerah itu dilepas.
"Ibu lebih marah padaku karena melawan, bukannya pada pemuda yang Ibu bilang sopan dan punya unggah ungguh itu. Dia hampir memperkosaku, Bu!

Sampai saat ini, aku masih bisa merasakan bibir, tangan bahkan bisikan di telingaku. Itu semua tidak akan bisa hilang selamanya. Sekarang Ibu marah karena aku melawan, bahkan Ibu ingin aku menikahi lelaki yang sudah membuatku merasa sekotor itu!?"

Dengan kepala tertunduk dan bercucuran air mata, Gendhis mengeluarkan semua keputusasaan yang dirasakannya. "Kenapa Ibu tidak marah padanya? Kenapa Ibu tidak ingin membunuh lelaki yang sudah mempermalukan aku dan mencoreng nama baik keluarga kita? Kenapa bukan membelaku tetapi malah memintaku untuk menikah dengannya. Kenapa!?" Kenapa tidak melaporkannya ke polisi? Lebih baik aku melihatnya mendekam dibalik jeruji besi daripada bersebelahan dengannya di pelaminan."

"Polisi! Yang benar saja. Ibu dan Bapak ndak akan melakukan itu. Karena apa yang terjadi padamu adalah aib. Dan aib itu harus ditutup bukan diumbar ke semua orang. Apa kata orang kalau berita anak gadis Ibu hampir diperkosa tersebar kemana-mana."

Gendhis memandang Ibunya dengan mata melotot. "Aib? Bu, anak Ibu ini hampir diperkosa! Ibu bilang ini aib!?"

"Hampir, kan? Toh sekarang Ragil dan orang tuanya datang untuk meminta maaf juga ingin memintamu untuk menjadi istri anaknya. Mau apalagi? Case closed!"

Gendhis memandang ibunya yang  masih terlihat marah. Dengan kasar dia menghapus air mata yang membasahi pipinya, lalu berjalan keluar kamar menuju ruang tamu tanpa mengindahkan panggilan Ibunya.

"Kamu!" Teriak Gendhis sambil menunjuk lelaki yang selama ini selalu membuatnya tersenyum bahagia. "Iya, kamu. Lelaki bejat tak punya otak! Kamu bilang sayang dan cinta sama aku, Mas. Tapi apa yang kamu lakukan padaku! Lihat baik-baik, ini semua hasil perbuatanmu!"

Gendhis terbangun dengan keringat bercucuran disekujur tubuhnya. Rasa sepi dan sendiri yang tadi dirasakannya memicu kenangan yang susah payah Gendhis kubur akhirnya muncul dalam mimpi. Begitu juga dengan mual yang selalu datang setiap kali dia mengingat kejadian itu.

Saat kembali setelah memuntahkan semua isi perutnya, dia melihat ke sisi ranjang yang masih terlihat rapi. Dia meraih bantal Puguh lalu memeluknya, Gendhis pun mencoba untuk tidur kembali. Karena hanya memeluk bantal atau mendengar nafas teratur Puguh lah yang selalu bisa membuatnya tenang dan tidur lebih nyenyak. Tanpa ada mimpi buruk tentang dia yang tak boleh disebut namanya.

"Maafkan aku, Mas. Maafkan aku."

 Hanya kata maaf yang keluar dari bibir Gendhis. Meski dia tahu kata maaf tidak akan membuat marah Puguh hilang begitu saja, tapi untuk saat ini, hanya itu yang bisa diucapkannya. Menyimpan semua alasan dibalik diamnya selama ini masih menjadi pilihan paling tepat, untuk saat ini.

Karena membayangkan menorehkan luka pada lelaki yang dicintainya, membuat mual dan keringat dingin itu kembali datang. Untuk saat ini, diam adalah pilihan yang tepat.



Dikit aja ya. 🤪

Happy reading
Love, ya!
😘😘😘
Shofie

Make You Feel my LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang