Bab 26

1.1K 195 2
                                    

breaking down

Gendhis melihat nama yang tertulis di kaca depan kantor yang terlihat sederhana itu. R.M Ragil Haryo Saputro, SH. MH

Rumah bergaya Belanda itu itu sudah direnovasi sehingga bagian yang dulunya halaman berisi beberapa pohon mangga dan juga sawo sekarang menjadi bangunan satu lantai dengan bagian depan berdinding kaca.

Rumah utama terlihat sepi, Gendhis tahu kedua orang tua Ragil sudah meninggal sebelum kedua orang tuanya. Seperti dirinya, Ragil anak tunggal jadi tidak ada saudara jadi tempatnya berbagi. Itu salah satu yang membuat mereka menjadi dekat.

"Bu, mau masuk?"

Remasan pelan Puguh di pundaknya membuat Gendhis tersadar telah melamun tepat di depan pintu kantor pengacara itu. Anjas dan juga Mara yang berdiri di belakangnya juga menanti apa yang akan dilakukannya.

"Kalau Ibu belum siap, kita bisa kembali bes--"

Suara Anjas menghilang begitu pintu kaca terbuka dari dalam dan memperlihatkan lelaki yang telah menjadi pusat rahasianya berdiri dengan tangan penuh berkas dan memberi perintah pada seseorang yang mengikutinya dari belakang.

"Hayu!"

Tanpa sadar Gendhis mundur begitu mendengar panggilan itu. Panggilan yang dulu membuatnya melayang sekarang membuatnya merasa jijik. Panggilan lelaki itu membuat ingatan Gendhis tentang hari itu terihat jelas. Suara, sorot mata bahkan saat ini dia masih mengingat aroma parfum yang menguar dari lelaki itu.

"Hayu, tunggu!"

Tanpa menunggu Puguh dan Anjas, Gendhis berlari menuju mobil diikuti Mara yang memanggilnya berkali kali. Nafasnya terengah-engah begitu sampai di samping mobil mereka. Keringat dingin membasahi kening dan juga punggungnya. Gendhis kira dia kuat berhadapan dengan lelaki yang menjadi pusat terornya selama ini. Namun dia salah, hanya mendengar suaranya, semua kenangan dan mimpi buruk yang selama dialami serasa nyata di pelupuk matanya.

"Ibu ... nggak apa-apa. Bapak dan Mas Anjas menahan orang itu untuk nggak deketin Ibu."

Saat ini yang dinginkan adalah menutup mata dan berharap semua kenangan itu menghilang dan tak akan kembali lagi. Gendhis mengedarkan pandangan, matanya nyalang melihat Mara. Dia ingin pergi dari sini, namun untuk mengatakan itu mulutnya terasa terkunci tak bisa berkata apa-apa.

Tak lama kemudian Gendhis merasa badannya didorong untuk masuk ke mobil dan melaju meninggalkan tempat yang membuatnya merasa terhina dan kotor. Matanya tertutup, dia takut untuk membukanya kembali hingga suara Mara mengatakan sudah sampai di hotel.

"Bapak sama Mas Anjas dimana, Dek?"

"Ibu enggak usah mikir mereka. Sekarang aku bantu Ibu turun dan masuk ke kamar ya."

Gendhis tidak mengingat bagaimana caranya bisa sampai di dalam kamar hotel dan bergelung di dalam selimut sseperti saat ini. Dia hanya mengingat suara Mara yang membantunya untuk kembali ke kamar.

Entah berapa lama dia berada dalam posisi seperti ini, hingga ada tangan hangat yang menariknya masuk dalam pelukan. Aroma tubuh yang membuatnya tenang dan bisikan kata sayang di telinganya membuatnya tertidur dengan tenang.

Gendhis terbangun dengan nafas yang memburu dan keringat membasahi sekujur tubuhnya. Kaki membawanya ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutnya hingga rasa pahit terasa di tenggorokannya. Air matanya mengalir saat merasakan pijatan halus di tengkuknya.

"Sudah? Kumur dulu lalu minum madu hangatnya."

Gendhis melakukan semua perintah Puguh dengan pikiran kosong. Dia sadar, tanpa bantuan suaminya, saat ini dia pasti masih terduduk di depan toilet berusaha mengosongkan isi perutnya yang kosong melompong.

Setelah menggosok gigi, Gendhis kembali masuk kebalik selimut dengan Puguh yang menariknya dalam pelukannya.

"Jangan dipaksa. Mas tidak ingin Diajeng melakukan sesuatu yang membuatmu kembali ke masa-masa itu."

Meski ingin menjawab, Gendhis seolah kehilangan kemampuan untuk berkata-kata. Dia hanya mengeratkan lilitan lengan Puguh dan kembali menutup mata setelah menghirup lama aroma tubuh suaminya. Tarikan nafas mereka berdua seolah menjadi lagu pengantar tidur baginya. Dalam hati dia berkata, 'hanya ini yang kubutuhkan. Hanya dia yang kubutuhkan saat ini.'

Entah berapa lama dia tertidur kali ini. Saat membuka mata, sinar matahari terlihat mengintip di sela-sela gorden yang masih tertutup. Dia mencari keberadaan Puguh yang tak bisa dilihat dimana-mana. Tidak ada suara yang terdengar berasal dari kamar mandi membuatnya berpikir bahwa dia sendiri di kamar ini.

Gendhis yang dulu pasti akan berpikir bahwa Puguh meninggalkannya. Semuanya sudah berubah, dia yakin saat ini Puguh pasti melakukan sesuatu untuknya dan lelaki itu pasti akan kembali. Bersandar di kepala ranjang, Gendhis mencoba untuk mengingat kejadian kemarin. Kegagalannya untuk menghadapi lelaki itu membuatnya bertekad untuk mengulanginya kembali.

Dia sudah membuka kotak Pandora yang selama ini tersimpan rapat dan kedatangannya kesini bukan hanya ingin menyudahi semua penderitaannya tapi juga untuk membersihkan jalannya. Gendhis mulai menyusun rencana untuk hari ini, dimulai dari bangun dan mandi membersihkan sisa tangisnya kemarin.

Saat membuka pintu kamar mandi, dia melihat Puguh menantinya dengan dua gelas tinggi dengan logo kedai kopi terkenal. Dia tahu salah satu gelas itu berisi teh untuknya.

"Selamat pagi Diajeng kesayangan Mas."

Senyum tak bisa wanita itu tahan saat mendengar sapaan suaminya. Matanya masih membengkak karena menangis, lingkaran hitam melengkapi penampilan yang membuatnya tidak percaya diri meski dihadapan suaminya sendiri.

"Mas dari mana?"

Puguh menjawab dengan lirikan ke arah gelas di atas meja dan senyum yang sekali lagi terlihat di bibir suaminya. Lelaki yang dengan sabar menemaninya menangis kemarin, hari membuat Gendhis jadi lebih tidak percaya diri.

Lelaki yang belum terlihat beruban itu selalu terlihat rapi, Gendhis melihatnya dan berfikir bahwa betapa beruntung hidupnya. Memiliki suami yang sabar rmenghadapi mood dan semua kerahasiaannya selama ini.

"Mas,"

"Hhmm."

Langkah kakinya terasa berat, namun Gendhis tahu ini harus dilakukan. Sebelum keberanian yang dia dapatkan saat membuka mata tadi menghilang kembali. Setelah duduk dan menggenggam tangan Puguh dia mengatakan keinginannya. Dia sadar semua keputusan ada ditangannya, tetapi Gendhis juga tahu bahwa saat ini Puguh dan kedua anaknya tidak akan mengizinkan dia untuk melakukan sesuatu yang akhirnya membuatnya kembali terpuruk kedalam lubang hitam yang mencengkram kakinya kuat-kuat.

"Yakin?"

Gendhis ingin menjawab bahwa dia yakin, tetapi dia tahu bahwa ada sebersit keraguan dalam hatinya. Keraguan yang ingin dia buang jauh-jauh dan menggantinya dengan semangat dan keberanian untuk membuang masa lalu dan menggantinya dengan masa depan.

"Sebenarnya, tidak. Namun aku tahu, ini semua harus dilakukan."

"Tapi tidak harus hari ini, kan?"

Seolah mendapat sesuatu yang baru, Gendhis memandang Puguh dengan mata melotot dan senyum lebar di bibir. Semua tidak harus dilakukan hari ini, karena tidak ada yang mengharuskannya untuk menjadi kuat. Tidak ada yang menuntutnya untuk menjadi sempurna. Tiga hati yang selalu berada bersamanya tidak membutuhkannya menjadi sempurna. Yang mereka inginkankan adalah dia bahagia.

"Mas betul. Mas ijinkan, tidak, kalau aku ingin melakukannya besok?" Usapan lembut di punggung tangan sudah menjawab pertanyaannya.

Gendhis memutuskan untuk menghabiskan hari itu bersama mereka bertiga.

Maaf karena menganaktirikan mereka berdua karena mau selesaikan Mas Arya yang di setelah ituh.
🙏🙏😂😂😂

Happy reading
Love, ya!
😘😘😘
Shofie

Make You Feel my LoveWhere stories live. Discover now