Epilog

201 24 21
                                    

"Lisha meninggal" ucap mama Alisha datar.

Suaminya agak terkejut, namun "ya sudahlah..mungkin itu takdirnya"

"Memang harusnya seperti itu" sahut sang istri.

Tak ada rasa sedih sedikit pun yang hinggap di hati sang ibu.

Bahkan dengan semangatnya sang ibu pergi ke kamar anaknya, ingin membakar semua barang kenangan yang tersisa agar tidak menumpuk katanya.

Hingga sebuah diary menarik perhatiannya. Entah dorongan darimana, tangannya bergerak membuka serta membaca isi diary itu.

Tuhan, kudengar penyakit yang di derita nenek itu bisa saja menurun pada keturunannya.

Jika benar begitu, aku tidak apa-apa memiliki penyakit itu menggantikan ibu. Sungguh..aku sangat tidak bisa hidup tanpa ibuku, Tuhan.

Bolehkah engkau berbaik hati mengabulkan hal tersebut? Aku benar-benar takut..jika ternyata penyakit itu memang bisa di wariskan seperti yang dikatakan.

Aku ikhlas, bahkan jika aku harus mati muda karenanya. Aku tidak mengapa. Asalkan masih bisa melihat senyum ibuku setiap harinya sampai saat terakhirku.

Dengan ini aku memohon padamu, Tuhan.

Air mata sang ibu jatuh berlinang membasahi wajahnya. Menutup mulutnya dengan kedua tangan agar isakannya tidak terdengar.

Apakah ini berarti bisa saja doa anaknya itu terkabul? Dan itu semua demi dirinya?

"Tuhan sangat menyayangimu ya? Sampai-sampai doamu dengan mudahnya terkabulkan."

Menahan tangis rasanya sangat menyesakkan. Tiba-tiba teringat sang anak yang sulit memproses keluarnya air matanya. Hati ibu Alisha hancur saat itu juga.

Ia mendadak sadar betapa jahatnya ia sebagai seorang ibu, hanya karena sering di katai oleh teman-temannya tentang anak penyakitannya itu dia jadi termakan omongan busuk mereka dan memperlakukan anaknya seburuk itu.

Ia akui, ia telah gagal menjadi seorang ibu.

Sang suami yang kebetulan melewati kamar tersebut, masuk ke sana dan menjadi pelampiasan sang istri yang menangis tanpa henti.

Percayalah, menangisi penyesalan yang tak bisa diperbaiki lagi adalah hal paling menyakitkan seumur hidup.

Dan itu adalah hukuman bagi mereka, kedua orangtua Alisha.

***

"What? Alisha meninggal?"

Deka sempat terdiam mendengar kabar duka itu dari teman-temannya.

"Untung aja gue belum ajak balikan, untung aja kemarin mendadak mager hubungin dia" ucapnya kemudian tanpa perasaan.

***

Dua orang, hanya tersisa dua orang yang masih berada di makam seorang Alisha Agatha.

Stiven dan Steff, keduanya masih ingin melihat dan menemani teman mereka sedikit lebih lama lagi.

Tangan Stiven bergerak mengelus puncak makam tersebut dan Steff meletakkan setangkai bunga matahari berukuran sedang di dekatnya.

Sudut bibir Stiven tertarik ke atas, "ternyata lo masih ingat ya bang soal Lisha yang suka banget sama bunga matahari"

Steff melipat kedua tangannya sejajar depan dada "ingatlah" jawabnya berusaha tersenyum.

"Lo gak usah sok gak papa bang, gue tahu seberapa sayangnya lo sama adik lo yang satu ini" sahut Stiven.

"Haha benar juga"

Perkataan Stiven tidak ia bantah, bahkan tak jarang Steff lebih mementingkan adik perempuannya ini di banding adik kandungnya, Stiven.

"Lo pulang duluan aja bang, masih ada tugas kan di rs?"

"Hm, ngusir lo?"

"Iya"

"Kamp-ya udah, gue pergi" Steff mengalah pada sang adik.

Ia mengerti, Stiven pasti butuh waktu berbicara berdua dengan Alisha.

"Jangan sedih terlalu lama dan berlarut-larut, Lisha gak bakal suka lihatnya" peringat Steff.

"Kalau gak suka, gue pengen dia datang dan marahin gue langsung bang"

"Stiven.." tegur Steff.

"Iya, sana pergi" usir Stiven.

Steff hanya mampu menggelengkan kepalanya, ia kalah debat dengan adiknya sekarang. Mungkin sudah saatnya dia pergi, kembali bekerja.

"Gue pergi" pamitnya tak di jawab Stiven.





















"Selesai, dengan begini kau pasti tidak akan bosan. Aku juga akan selalu melihat dan menemanimu, Sha."

Stiven baru saja menanamkan bunga matahari yang sudah mekar di sekeliling makam Alisha, mengingat bagaimana terobsesinya gadis itu pada bunga matahari dulu.

Melakukan hal yang cukup lelah di siang hari yang panas, Stiven akhirnya beristirahat dengan memandangi nama di makam tersebut.

"Alisha Agatha"

"Kau persis seperti bunga matahari, meski diterpa teriknya panas kau tetap terlihat indah."

"Tidak peduli bagaimana sakitnya perjuanganmu melawan penyakit langka itu, kau sudah sangat hebat Sha."

"Terlepas dari itu semua, hatimu yang sebenarnya lebih langka menurutku. Kau sangat baik dan mampu meluluhkan hati setiap orang yang kau temui, aku beruntung karena bisa jatuh cinta padamu Sha"

"Jangan takut, jangan merasa kesepian. Karena aku akan selalu melihatmu mulai hari ini"

"Sha, aku belum sempat mengatakan ini padamu waktu itu, di hari ulang tahun ke-17 mu sebenarnya aku ingin menyatakan perasaanku padamu."

"I love you Sha, forever."





























Kini, gadis itu tidak perlu lagi merasakan pedihnya hidup dengan penyakit itu.

Tidak perlu lagi menyembunyikan keadaannya pada siapapun.

Tidak perlu lagi pura-pura baik-baik saja.

Ia telah bebas.

Ia sembuh.

Untuk selamanya..

Dan yang terpenting,

Dia sudah bahagia di alamnya.

Hidup tanpa rasa khawatir dan rasa takut.

Ia benar-benar bebas sekarang.




















































*Pas bgt cast Lisha alias rose pernah foto sama sunflower xixi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

*Pas bgt cast Lisha alias rose pernah foto sama sunflower xixi. Baru ingat tadi, langsung search fotonya wkwk.

A Heart of Sunflower [END]Where stories live. Discover now