Serpihan Waktu III (Side Story)

502 96 13
                                    

"Ma, William mau temenin Mama ketemu kolega papa. Masa' nggak boleh?"

"Bukan gitu, Wil, kita mau bahas bisnis agak lama. Kamu belum terlalu ngerti."

"Kalo ada apa-apa sama Mama, gimanaa?"

"Hee.. kok ngomong gitu? Tuhan selalu jaga Mama sama kamu, Wil, nggak usah takut."

"Bener nggak apa-apa kalau papa sama Mama berdua aja? Jauh banget, Maa.."

"Nggak akan ada apa-apa, William Geraldy. Udah sana cepet masuk mobil Reno, kasihan temen-temen kamu nunggu lama."

William kemudian mencium tangan Sarah, menggandeng lemah lengan Arif saat melangkah keluar rumah, beserta Ali yang turut mengawal dari belakang.

Perjalanan dikuasai hening berselimut ragu bercakap. Reno menyetir ringan tanpa lagu-lagu kesayangan mendendang menemani. Fauzi, Galih, dan Harsya sibuk memainkan ponsel masing-masing. William menatap pemandangan hampa melalui jendela. Sementara Arif mengecek pekerjaan lewat tab pinjaman Fauzi.

Semalam, seluruh penghuni rumah merebakkan mendung, membiaskan kecewa berikut prihatin terhadap nasib perasaan Reyhan dan Irene, berpengaruh pada mood Reno yang enggan sarapan walau dibujuk keras oleh Naren, termasuk anggota geng Akarsana lain yang sedang menapaki jalur rasa sensitif.

"Kalau ternyata calon kakak ipar lo 11-12 sama si bunglon buduk, apa lo nggak bakal nyesel, Bang Renatta?!"

Begitulah seruan penutup Harsya sebagai pengantar tidur pukul 03.00 dini hari.

"Aarrghh! Tahu ah, pusing!"

Setir bulat Innova itu tak luput dari pelampiasan Reno yang melirih frustasi.

Merasa tidak beres jika terus didiamkan, mau tak mau Arif harus melakukan sesuatu.

"Ren, kita minggir dulu mumpung masih jam 8. Isi tenaga, yuk, semuanya. Kita nanti latihan empat jam nonstop, kudu belajar koreografi baru juga."

Bagus, Rif, cahaya mata Galih mendadak terang benderang.

"Mau refill bensin di mana, Rif?"

"Mana, ya.. oh! Tuh, Gal, seberang kanan ada Putera Minang! Mau, nggak?"

"Apa aja pokoknya nasi." Sambar Galih, masalah hati orang lain sempat menurunkan nafsu barbarnya dalam menginginkan sebakul nasi goreng daging asap buatan Sarah.

"Boleh." Fauzi menjawab singkat.

"Terserah." William ikut-ikutan.

"Mau! Gulai tunjang, Acha is comiingg!"

"Ayo deh, gue mulai ngerasa laper."

Sang pengemudi setuju, kendaraan yang ia kendalikan mampu menempati lahan parkir lihai. Kacamata hitam Reno turunkan, berjalan menyusul kawan-kawan yang sudah mendatangi rumah makan kenamaan itu, tak lupa mengunci pintu mobil.

Beberapa orang memang terlihat hampir menyerah mengikuti alur kehidupan. Namun, menyaksikan kehebohan Galih dan Harsya ketika memilih lauk, ternyata bisa menetralkan cerita.

"Uda, ambo pesen nasi dua centong, perkedel, talua dadar, ikan kembung balado, kuah gulai kepala kakap tolong dibanyakin sampe banjir. Minum.. hmm.. es kopyor aja." - Galih.

"Acha pesen nasi rendang, Mas, tambah gulai tunjang, telor balado, sama kerupuk merah, minumnya es teh manis." - Harsya.

"Aku apa, ya? Nasi, gulai daging cincang, tempe goreng, Mas. Oh, sama air mineral nggak dingin." - Fauzi.

NAWASENA [Telah Terbit] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang