Fauzi bolehlah berlega hati, giliran kelima sahabatnya berperang merebutkan gelar juara satu demi sepiring ketupat sayur gratis, disoraki warga sekitar. Tak peduli badan belum mandi, muka lengket akibat keringat dan lumuran kecap, asal hati senang bahagia.
"Minum, Mas."
"Makasih, Bang."
Setengah botol air dingin dari Setya melegakan tenggorokan Fauzi.
"Mas, tadi Non Berlian telepon, ngasih tahu tenggat waktu pengumpulan laporan magang Mas sama Non di rumah sakit dimajuin minggu depan."
"Serius?" Setya mengangguk yakin. "Bingung gue, Bang, di satu sisi pengen cepet lulus, tapi masalah ginian mau nggak mau kudu ambil cuti. Tapi ngeri kelamaan."
"Mas Fauzi santai aja sih, Non Berlian kan setia nunggu."
"Sa ae lu, Bang."
Keakraban pemuda dan ajudannya menemani keriuhan pagi itu, menonton Galih berselebrasi mengunyah potongan kerupuk terakhir, mengangkat dua jari ke atas tanda pemenang pertama. Disusul Harsya, William, Arif, dan Reno. Tampak Reyhan menggendong Galih penuh sukacita.
"Bisa habisin kerupuk dikecapin cepet doang gayanya udah mirip menang olimpiade." Sungut Fauzi ditertawakan Setya. "Lo lihat tuh, Bang, sohib gue. Tampang tengil doyan tawuran ternyata bisa juga jadi employee of the month di kantornya."
"Life goes on, Mas. Seems like your family kindness to take care of my college until graduation. Special thanks a lot for you."
Kadang, Fauzi tidak pernah merasa dirinya kaya raya. Uang papa dan mama jelas lebih dari cukup sewaktu diketahui mampu membiayai kuliahnya, Berlian, dan Setya di jurusan sistem informasi sekali pun hingga lulus. Namun, jika kembali mendengar rasa terima kasih kepadanya terungkap, ia tetap merasa malu.
"Apalah, Bang.. orang tua gue emang baik, cuma gue aja suka kurang bersyukur disayang banget sama mereka."
"Maka itu, Mas, sering-sering main sama temen-temen Mas, biar tahu rasanya bersyukur banget kayak gimana. Eh, dipanggil Mas Arif tuh. Gabung, yuk."
Kalau aja hidup boleh milih, bisa nggak sih Bang Setya jadi kakak gue aja?
Mengangguk menurut, Fauzi bergabung mengantri di depan gerobak ketupat sayur bersama rekan-rekannya.
"Jadi ditraktir Kak Dian, Gal?"
"Yoi, ma bruh. Buru gih pesen, lu berempat ditraktir Reno tuh."
"Halahh.. bocah kebanyakan duit malah traktir makan ketupat sayur buat sekompleks."
Bukan tanpa alasan Galih ngakak mendengar ucapan lirih Fauzi, karena itulah adanya. Rezeki bagi si abang penjual masakan sarapan, baru dua jam keluar peraduan sudah hampir ludes.
Kecuali Setya, Ali, dan Reyhan, tetap menjaga situasi sambil menikmati nasi uduk buatan Ibu Arif, hasil delivery ojek online.
Mereka duduk bersila melingkar, menangkap terpaan udara sejuk, ditemani terik tipis matahari, menyuapkan sajian masing-masing ke dalam mulut. Termasuk Fauzi, walau kerupuk di piringnya hanya berjumlah tiga keping.
"Gue ada kejutan buat lu pada. Habis ini, kita berangkat ke ruko tempat latihan kayak biasa. Mandi, ganti baju, mulai latihan pendarasan vokal sama pembacaan naskah. Kalau waktunya sempet, kalian bisa belajar cover performance." Kata Adrian di tengah acara makan.
"Baru tahu teater gitu amat." Celetuk Harsya.
"Bener, Sya, gue sendiri butuh waktu 4 tahun belajar di ISI Jogja sampe bisa bantu kalian latihan. Tapi kalau dilihat yang udah-udah sih, gue yakin kalian mampu tanpa harus belajar selama itu juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
NAWASENA [Telah Terbit] ✔️
Fanfiction(Buku Ke-2 AKARSANA) (Telah dibukukan oleh Redaksi Athena) . . Arif, Galih, Fauzi, Reno, William, dan Harsya kembali mengemban misi menyelamatkan seorang penyanyi opera di sebuah kelompok pertunjukan ternama, dari sebuah organisasi perbudakan hibura...