13 - Tugas Pertama

1.3K 292 159
                                    

Asyik bercanda, tidak sadar bahwa seorang wanita cantik bergaun santai motif bunga musim semi, bersepatu stiletto putih bening, didampingi oleh pria sebaya berkaus kuning cerah dan bercelana jeans pudar, datang menghampiri perlahan.

Rambut panjang sepunggung diikat bentuk kepang satu, disampirkan ke kanan, menyiratkan sambut hangat bagi keenam anggota baru kelompok pertunjukan mereka yang diidam-idamkan.

Di mana William pertama kali menotis keeksisan tersebut usai meminum setengah botol air mineral.

"Woah... cakep banget.."

Teman-teman geng ikut menoleh, mencari maksud lirih memuji William. Wanita muda yang dicari lantas melambaikan tangan pada mereka, pulasan natural make up dengan warna soft peach lip cream kompak menyatu dalam bersihnya warna kulit ketika turut duduk bersila di tengah lingkaran kecil.

Bermimpikah Arif dan kawan-kawan? Setelah Tante Shafira berhasil mencuri hati, ada celah sinar rembulan timbul menerangi. Biar dikata beberapa sudah memiliki kekasih, permaisuri dari negeri mana pun ia berasal, aneh sekali bila ada pemuda tanggung berani menolak.

"Malam, semuanya. Gimana? Surprised sama kostum yang kalian pakai?" Tanyanya halus, sukses menyihir pandangan mereka.

"Kakak siapa?" Reno lebih dulu penasaran.

Sekedip mata melayang, mengerjapkan mata direktur muda perusahaan raksasa properti keluarga dari Shanghai itu.

Gile, booorrr... putih bener macem koleksi porselen mama di rumah!

"Mbak Nadia? Bener ini Mbak Nadia, kan?" Tebak William.

Sosok bernama Nadia mengafirmasi berupa angguk sekali, membuat sebagian di antaranya terperangah. Terutama Fauzi, Reno, dan Galih.

"Lho, jadi ini Mbak NM yang chat saya di mimpi? Walaahh.. dunia sempit bener kayak mangkok burjo! Kenalin, Mbak, saya Galih."

"Malam, Mbak. Saya Fauzi, salam kenal."

"Nggak usah pura-pura baru ketemu, saya tahu Mbak pasti kenal kita semua."

Tinggal Harsya dan Arif terbujur diam memandang satu sama lain, sibuk mengagumi mengapa orang-orang seperti Tante Shafira dan Mbak Nadia mau meluangkan waktu untuk hal remeh.

"Terima kasih, Mbak, luka saya udah baikkan. Kebetulan papa sama mama belom pulang dari Singapura, saya nggak perlu bikin mereka khawatir sama apa yang udah terjadi sama saya dan Harsya." Ucap William akrab, membasuhkan iri setengah mati tentang bagaimana ia sungguh luwes melukiskan tawa kecil Mbak Nadia.

"Bagus kalau gitu, Wil. Hmm.. oke, saya nggak akan basa-basi cukup lama. Kita udah saling kenal tanpa disengaja, benar kata Reno. Tapi saya mau tanya, apa kalian mengerti alasan kenapa saya mengumpulkan kalian semua di sini dengan cara yang nggak biasa?"

Mbak Nadia menyisir mimik muka calon pemain baru rencana lakon cerita yang telah disusun rapi. Kedewasaan geng Akarsana dapat ditemukan seksama, tak lagi bocah sekolah bersifat sembrono yang meledakkan petasan di depan rumah tetangga.

Keempat orang menggeleng menjawab, kecuali Reno dan Arif.

Entahlah. Arif bahkan masih sulit menebak apakah Mbak Nadia mewarisi niat busuk Dohen, atau sebaik Kartini mengemansipasi kekuatan seorang wanita demi menegakkan keadilan.

Sementara Reno bersumpah, meski aura Mbak Nadia secantik nama yang diemban, ia wajib waspada akan segala aroma marabahaya kelak.

"Karena Mbak Nadia ini adiknya Om Dohen, menurut saya wajar kalau Mbak pengen kita bantu artis teater ini dari cengkeram kejahatan kakak Mbak sendiri."

NAWASENA [Telah Terbit] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang