Chapter 27 ♗

743 140 28
                                    

Ke Perbatasan (4)

⧫︎ ⧫︎ ⧫︎

Seorang manusia. Dengan telinga panjang dan runcing. Mengenakan pakaian yang begitu sederhana dengan potongan kain yang dijahit menjadi satu. Tangannya memegang tombak kayu dengan mata pisau yang terbuat dari tulang yang diasah.

Orang itu memandang mereka dengan mata menusuk. Siap untuk melontarkan tombak di tangannya pada keempat orang di hadapannya bila memberikan sedikit saja pergerakan yang mencurigakan baginya.

Dia bisa melihat bagaimana seorang perempuan berambut hitam dengan penampilan seperti seorang mage melihatnya takut dan gugup. Memaksakan diri untuk tidak bergerak dan mengeluarkan suara sama sekali. Laki-laki berambut perak dan mata emas di sampingnya mengatupkan bibir rapat dengan kedua mata terbuka. Laki-laki yang berambut hitam juga terlihat tidak jauh berbeda. Hanya saja dia terlihat seperti anak yang memiliki kebanggaan diri tinggi dan sudah mempersiapkan diri lebih dulu.

Dan orang terakhir, rambut merah dengan buku di tangannya. Dia terlihat lebih tenang dibandingkan ketiga orang lainnya. Bahkan matanya memancarkan kata-kata seperti 'Sudah kuduga akan tampak seperti ini'.

Orang dengan tombak itu mengerutkan dahi menerima pandangan itu.

"Nona elf."

Dia, elf yang dipanggil itu mengarahkan mata tajamnya pada orang yang baru saja memanggilnya. Si anak yang berambut merah. Yang ajaibnya bisa begitu tenang melihat penampilan elfnya.

Valias merasakan ketegangan ketiga anak di sampingnya. Dia sebagai yang paling dewasa harus menghadapi itu. "Bisa kita bicara?"

" ....Kau ... buku itu ... siapa kau?"

"Namaku Valias, Nona. Bolehkah saya bicara berdua dengan Anda?"

"Jawab pertanyaanku," sang elf memotong.

Valias tersenyum. "Saya tidak bisa melakukan itu, nona. Tidak di depan teman-temanku ini."

Elf itu mengernyit tapi tidak merasakan bahaya dari anak berambut merah dengan kulit pucat itu.

Dirinya sendiri sebenarnya penasaran bagaimana keempat anak itu bisa ada di daerah persembunyian dirinya dan keluarganya. Terutama bagaimana pintu mekanis sihir yang tidak pernah terbuka selama ratusan tahun, untuk pertama kalinya terbuka.

Elf itu, Pralta, untuk pertama kalinya menyaksikan pintu yang selalu dia pandangi dengan penuh penasaran menghasilkan getaran sebelum akhirnya terbelah dua dan membuat cahaya langit luar yang dia pikir hanya akan menjadi khayalannya muncul di depan matanya.

Orang tua dan tetuanya selalu mengatakan kalau dasar pilar batu yang mereka sebut pintu itu adalah mekanis sihir yang dibuat oleh seorang manusia ratusan tahun lalu. Cerita tentang pintu yang ada di ujung terowongan tempat tinggal mereka adalah cerita turun menurun yang akan selalu disampaikan jika ada yang bertanya karena penasaran.

Akhirnya—setelah menyimpan rasa ingin tahu besar selama 20 tahun—Pralta menyaksikan bagaimana pintu yang selalu ada di sana akhirnya menghilang, digantikan dengan cahaya langit yang masuk.

Setahunya manusia tidak bisa hidup lebih dari seratus tahun. Tidak sewajarnya ada orang yang tahu cara membuka pintu itu sekarang.

Mungkinkah?

Pralta melihat mata anak itu tajam. Berusaha mengintimidasi. Tapi si rambut merah tidak berkutik sama sekali. Dengan begitu datar melihatnya balik.

Pralta merasakan sinyal dari teman-teman di belakangnya.

"Dengarkan dia. Mungkin kita bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi jika kita bicara dengannya."

Valias dan ketiga anak di sampingnya mengamati elf yang masih berada di dalam tanah dan hanya menampakkan setengah tubuhnya itu perlahan menurunkan tombaknya. Mereka bisa mendengar seseorang bicara dari dalam lubang tapi mereka sama sekali tidak mengerti artinya.

[HIATUS] Count Family's Young Master 백작가의 젊은 주인Where stories live. Discover now