Chapter 4 : Aku, Kakak dan Ayah

3.9K 523 1
                                    

Aku bangun tidur lebih awal dari biasanya, sesuai yang Alger katakan kemarin bahwa pria berwajah datar itu mengundangku ke ruang kerjanya untuk memakan makanan manis.

"Saya tak menyangka hari ini akan tiba sangat cepat," ujar Clara tak percaya.

"Aku lebih tak bisa menerimanya dari siapa pun," gumamku.

Hari ini Clara sedang mendandaniku secantik mungkin untuk bertemu ayah Cornelia, meski aku terus berpikir bahwa aku layaknya seekor kelinci yang di dandani sebelum di makan hidup-hidup.

"Saatnya berangkat Yang Mulia." Clara berhenti mendandaniku dan aku menatap diriku di cermin.

"Cantik sekali ...!" pujiku pada Clara.

Jujur saja, riasan yang Clara pakaikan padaku benar-benar sangat bagus sampai aku tak menyadari bahwa aku memiliki kecantikan wajah Cornelia yang luar biasa.

Clara membawaku keluar dan kami segera memasuki wilayah kastil utama atau lebih tepatnya tempat tinggal Kaisar sekaligus ayahku.

Saat kami sampai di depan pintu ruang kerjanya, jantungku berdetak dan terasa akan meledak saat itu juga. Aku takut jika aku tak akan bisa keluar hidup-hidup dari ruangan ini!

"Baiklah, hadapi ini! Kau adalah Cornelia! Kau hebat dan kau juga sangat pemberani! Kau pasti bisa," pikirku untuk menenangkan diri.

Pintu itu terbuka, tak seperti yang aku bayangkan ... ternyata isi dari ruangan yang membuatku takut setengah mati itu terkesan sangat elegan dan mewah.

Ruangan yang memiliki rak penuh buku juga sebuah tempat kerja dan tempat tidur, satu hal lagi! Di depan meja kerja itu sebuah sofa mewah diletakkan bersama makanan sekaligus sang pemilik ruangan.

"Selamat pagi Yang Mulia," ujarku memberi salam, namun ia tak menjawabnya.

"Masuklah, semuanya akan baik-baik saja," ujar Alger yang baru saja keluar dari ruangan dan berbisik tepat di dekatku.

Aku menghirup banyak napas dan melangkah masuk ke dalam ruangan itu, dengan ragu-ragu aku duduk di sofa yang berada tepat di depannya.

Tak ada yang terjadi di sana kecuali tatapan datar tanpa kata-kata yang aku dapat selama kurang lebih lima belas menit.

"Apa aku boleh mengambil ini ...?" ujarku mencoba mencairkan suasana.

"Ambil saja jika kau menyukainya," jawabnya.

Aku segera mengambil beberapa biskuit manis itu dan memakannya dengan lahap, ini berbeda dari biskuit yang sering aku makan! Rasanya benar-benar lembut dan membuatku meleleh!

"Ini enak, apa Anda juga mau?" Aku memberi biskuit itu ke hadapannya dan melupakan bahaya yang terus aku takuti sedari tadi.

Tanpa menjawab tawaranku, ia mengambil biskuit itu dengan mulutnya dan melahapnya sampai habis.

"Tak buruk juga," ujarnya.

Aku terkejut, apa yang baru saja aku lakukan saat ini benar-benar membuatku merasa malu! Wajar saja bukan? Karena aku adalah seorang gadis remaja biasa yang terjebak di dalam tubuh seorang gadis kecil yang kemudian mendapat hal seperti ini dari seorang pria tampan.

Tapi ini sedikit membuat hatiku merasa hangat, meskipun kelihatannya ia dingin dan tak berekspresi namun orang yang akan aku sebut Ayah ini adalah orang yang sangat-sangat baik hati terutama pada orang yang ia sayangi.

"Apa Ayah mau lagi?" Aku kembali memberikan biskuit itu padanya namun kali ini ia terdiam.

Aku berpikir, apa mungkin ia tak suka saat aku memanggilnya ayah? Wajahnya tampak terkejut dan tatapan itu masih terus menatap diriku.

Tapi tak sesuai dugaanku ia malah melakukan hal yang sama lagi seperti tadi, mengambil biskuit dengan mulutnya.

"Apa dia tak ingin memperlihatkan isi hatinya pada orang lain?" pikirku.

Berbeda dengan wajahnya yang datar, prilaku ayah malah terasa cukup hangat dan sedikit menggemaskan bagiku. Saat aku tengah berpikir tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar, memperlihatkan kak Adolf yang datang dengan tergesa-gesa.

"Cornelia!" serunya.

Aku berdiri dari dudukku dan memperlihatkan bahwa diriku baik-baik saja di depannya, aku melihat wajahnya yang khawatir dan terlihat sangat cemas itu.

"Mungkinkah dia sadar bahwa aku sedang bersama predator saat ini?" pikirku khawatir.

"Maaf atas kelancangan saya Yang Mulia, tolong izinkan saya berbicara dengan Putri Cornelia," ujar kak Adolf dengan formal.

"Lakukan sesukamu," jawab lawan bicaranya.

Kak Adolf segera menghampiriku dan memegangi kedua lenganku, aku bisa merasakan napasnya karena jarak kami yang sangat dekat.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya kakak.

"A-Aku ... baik-baik saja," jawabku gugup.

Dia bertanya padaku seperti itu, seakan-akan ia juga menganggap ayahnya sebagai predator ganas yang bisa mencabik-cabik mangsanya tanpa belas kasihan.

"Kenapa kau kemari?" tanya ayah.

"Untuk menyelamatkan hidup adikku dari monster buas sepertimu!" jawab kak Adolf tanpa rasa takut.

Baiklah, ini sedikit di luar kendali. Bagaimana bisa seorang anak mengatai ayahnya sendiri seperti itu?! Aku tak tahu jika Adolf adalah kakak yang sangat overprotective pada Cornelia, mungkin ini bisa jadi suatu keberuntungan bagiku bisa bergantung padanya tapi apa dia akan selamat dari pria berwajah datar itu?

"Kakak, aku dan Ayah hanya sedang mengobrol di sini jadi aku baik-baik saja lagipula aku senang berada di sini bersama Ayah," ujarku mencoba menenangkan.

"Kau merasa senang? Tak bisa ku bayangkan bagaimana hal itu bisa terjadi tapi baiklah, karena adik cantikku ini yang mengatakannya maka aku tidak akan banyak bicara lagi," jawab Adolf.

"Eh? Semudah itu?" pikirku terkejut.

"Jika kau hanya ingin mengoceh, sebaiknya kau segera keluar!" pinta ayah dengan tegas.

"Aku akan di sini sampai Cornelia kembali bersamaku ke kastilnya," jawab kakak.

Ayah menatap kak Adolf dengan tatapan membunuh yang datar namun seperti tak menganggapnya, ia terlihat tenang sembari mengambil sebuah kue di berada di meja.

"Dia tak berbicara formal lagi saat ini, apa mungkin itu karena dia sedang kesal?" pikirku sembari meminum secangkir teh,

"Kau terlihat menyukainya, apa rasanya enak?" tanya kak Adolf.

"Rasanya sangat enak! Ini membuatku merasa berada di tengah-tengah taman yang di penuhi oleh bunga yang bermekeran, benar-benar sangat menenangkan," jawabku.

Aku meminum teh itu sampai habis dan kakak hanya membantuku menghabiskan makanan, sementara ayah ... dia terus menatap kami tanpa alasan yang aku tahu.

Aku dan kakak segera pergi dari ruangan itu saat Alger datang dengan tergesa-gesa dan membawakan surat untuknya, aku berpikir-pikir apa itu berarti awal dari kisah novel yang sebenarnya akan segera di mulai? Apa itu surat dari Duke? Atau hanya sekedar pekerjaan biasa yang ia dapatkan.

Meski aku berpikir seperti itu, aku tak begitu merasa takut lagi pada kematian. Mungkin itu karena aku bersama dengan orang-orang yang menyayangiku dan aku juga pernah mengalaminya satu kali.

Sebenarnya ... aku lebih mengkhawatirkan ayah daripada siapapun saat ini, aku harap dia baik-baik saja.

To Be Continued

Reincarnated as an Evil PrincessWhere stories live. Discover now