Bab 2

438 83 1
                                    

Bab 2

Pak Jimin dan Bu Sekar akan berlibur ke pantai Anyer dan mereka mengajakku. Aku nggak mau ikut, sungguh. Kalau aku ikut, aku takut jadi nyamuk yang mengganggu. Tapi, Bu Sekar malah memaksa.

"Kamu kan belum pernah ke pantai Anyer, jadi ikut saja, ya. Di sana pantainya bersih. Lagi pula, Yasmin, nanti di sana aku ada sedikit kerjaan, ada meeting dengan teman lamaku yang mengajak bisnis. Jadi kamu harus nemenin suamiku, kasihan nanti kalau dia sendirian. Biar ada yang masak juga buat kami. Mau, ya?"

Oh, gitu. Kalau gitu, sih, nggak masalah. Lagi pula, sudah lama aku nggak ke pantai Anyer. Terakhir beberapa tahun lalu saat Ibu libur kerja.

Ah, Ibu... apa Ibu mencariku? Atau sibuk dengan pekerjaannya dan juga Antoni?

Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Bayangan menjijikkan itu kembali melintas.

"Arella, kamu cantik dan seksi, ah payudaramu besar sekali... mmm...."

Kata-kata entah pujian entah rayuan Antoni saat bergumul dengan Ibu terus saja terngiang. Lengkap desahan, erangan, dan derit kasur. Membuatku menyeka kasar bulir bening yang mulai kembali mengalir. Aku mual.

Sebaiknya aku menyiapkan barang bawaanku dan juga memasak untuk bekal besok ke Anyer.

Omong-omong, selama di sini, Bu Sekar nggak hanya memberikanku baju-bajunya yang masih layak pakai, tetapi juga membelikanku beberapa potong pakaian baru. Mereka begitu baik kepada orang asing sepertiku. Aku hanya bisa mendoakan semoga mereka segera diberikan keturunan.

Dini hari, aku sudah sibuk membuat bekal sementara kedua majikanku masih tertidur nyenyak. Aku memasak nasi, opor ayam, tahu-tempe goreng, capcai, dan juga sambal goreng kentang.

Setelah Pak Jimin dan Bu Sekar sarapan, kami pun berangkat. Selama perjalanan, aku yang kelelahan langsung tertidur pulas. Ketika bangun, pemandangan langit cerah dan birunya pantai di kanan jalan menyambutku.

"Kamu bangun jam berapa tadi pagi, Yasmin? Selama berjam-jam kamu tidur kayak orang pingsan." Pak Jimin terkekeh dan melihatku dari kaca spion tengah.

Aku tersipu. "Jam 3 pagi, Pak."

"Ya ampun, pantas saja!" timpal Bu Sekar menoleh ke arahku. "Lain kali kalau jalan-jalan lagi, kita beli makanan jadi saja buat bekal. Kasihan kamu, Yasmin."

Aku hanya tersenyum. Lain kali? Apa akan ada lain kali? Sampai kapan aku akan tinggal di rumah mereka? Sebentar lagi liburan kuliahku usai.

Masalah itu... nanti saja aku pikirkan.

Bu Sekar dan Pak Jimin menyewa cottage di tepi pantai. Tepat di depan cottage ada ayunan yang menggoda untuk dinaiki, tapi sebelum itu tentu aku harus membereskan barang bawaan dulu lalu menyiapkan makan siang.

Setelah makan siang, Bu Sekar berpamitan untuk meeting dengan temannya.

"Yasmin, kalau kamu masih ngantuk, tidur saja lagi," ujar Pak Jimin.

Aku menggeleng. "Saya mau naik ayunan, apa boleh?"

Pak Jimin tersenyum, bukannya menjawab, ia malah berjalan mendahuluiku menuju halaman yang terdapat dua ayunan yang terpasang kokoh dan ia menaiki salah satunya. "Kenapa diam saja? Ayo sini, katanya mau naik."

Duh, kenapa Pak Jimin malah duduk di situ, sih? Aku kan jadi sungkan.

"Ayo, Yasmin," Pak Jimin kembali memanggilku. Mau tidak mau aku menurut.

Saat aku duduk dan mulai mengayun, rasanya menyenangkan. Tanpa sadar aku mengayunkan tubuhku tinggi-tinggi. Menyenangkan sekali!

Tawa Pak Jimin meledak membuatku terkejut dan menoleh ke arahnya.

"Kamu ini sudah 20 tahun, tapi masih kayak anak-anak!"

Aku malu. Buru-buru aku menghentikan ayunanku.

"Lho, kenapa berhenti, Yasmin? Aku senang lihat kamu berayun, kamu kayaknya bahagia banget seolah nggak punya masalah. Tapi, saya tahu kenyataannya nggak seperti itu. Waktu pertama kali kita bertemu, kamu kelihatan sangat menderita."

Aku menunduk, mengayun tubuhku pelan. "Sekarang saya baik-baik saja, berkat Pak Jimin dan Bu Sekar." Aku menoleh ke arah Pak Jimin dan tersenyum. "Kalian begitu baik, rasanya nggak cukup hanya ucapan terima kasih. Gaji yang kalian berikan pun sangat besar, jadi saya akan melakukan yang terbaik."

Pak Jimin mengulurkan tangannya dan mengusap kepalaku. "Kamu selalu melakukan yang terbaik. Masakanmu enak dan rumah kami jadi sangat bersih juga rapi berkat kamu. Kamu bisa menjadi istri yang baik."

Istri? Aku menatap Pak Jimin. "Saya ini gemuk dan nggak cantik, jadi nggak ada laki-laki yang mau sama saya."

Tangan Pak Jimin masih betah mengusap kepalaku. "Kamu baik dan rajin, itu yang terpenting. Lagi pula menurutku kamu nggak jelek. Kamu manis, Yasmin. Kamu harus percaya diri."

"Saya... manis? Kedengarannya Bapak bohong." Ya, seperti Antoni. Pembohong. Pembual. Pendusta. "Kebanyakan laki-laki lebih tertarik sama perempuan yang langsing dan cantik, dan saya tahu betul hal itu, jadi Bapak nggak perlu menghibur saya."

Kini Pak Jimin tidak lagi mengelus kepalaku. Kedua tangannya meraih bahuku dan menghadapkanku padanya. "Nggak semua laki-laki seperti itu, Yasmin. Percaya kepadaku, suatu saat kamu akan menemukan laki-laki yang hanya akan mencintaimu. Aku jujur mengatakan kamu manis, hanya saja kamu kurang merawat diri. Sekali lagi aku bilang ya, kamu harus percaya diri."

Aku hanya tersenyum. Semua kata-kata Pak Jimin seolah tertelan deburan ombak. Sebab kepercayaan diriku sudah musnah berkat Antoni dan ibuku.

***

Malam menjelang, Bu Sekar menelepon mengatakan akan makan malam di luar jadi ia memintaku menyiapkan makan malam untuk Pak Jimin saja. Sebenarnya aku merasa canggung bila hanya berduaan dengan Pak Jimin, tapi aku berusaha berpikir postif.

"Yasmin, ayo makan bareng," ajak Pak Jimin yang sudah terlihat segar dengan kaus putih dan celana pendeknya.

"Saya sudah makan tadi, Pak." Aku hendak ke kamarku, tapi Pak Jimin menyuruhku menemaninya.

Setelah selesai makan, Pak Jimin mengajakku ke ruang televisi, lagi-lagi memintaku menemaninya. Aku pun hanya bisa menurut.

"Setiap kali istriku pergi dinas ke luar kota atau ada meeting di saat kami sedang berlibur seperti sekarang ini, aku selalu merasa kesepian. Tapi, apa boleh buat, kan. Seandainya ada anak, tentu ada yang bisa kuajak bermain dan mengobrol." Pak Jimin tersenyum seraya memandang televisi. "Sesibuk apa pun aku dengan pekerjaanku, sebisa mungkin aku selalu meluangkan waktu untuk Sekar. Tapi, rupanya Sekar lebih senang mengurusi pekerjaan kantornya dan juga bisnis-bisnis sampingan dengan teman-temannya. Mungkin kalau ada anak, ia akan lebih kerasan di rumah."

Aku yang duduk di lantai, menatap Pak Jimin, ia tampak muram. Memang mereka saling mencintai, tapi di mataku, cinta Pak Jimin terlihat lebih besar bila dibandingkan dengan sang istri. "Kalau sudah waktunya, nanti juga dikasih anak, Pak."

Pak Jimin menghela napas, bersandar ke sofa. "Iya. Padahal kami sudah berobat ke mana-mana, memakan makanan yang bergizi..." pandangannya mulai menerawang.

"Semoga Bapak dan Ibu segera dikaruniai anak," doaku tulus.

"Terima kasih, Yasmin."

Aku tersenyum.

***

Putri Permatasari, Rabu, 8 September 2021, 10.24 wib.

Fan fiction Jimin BTS

Love and Life (Short Story Collection) by EmeraldWhere stories live. Discover now