Bab 7

695 90 21
                                    

Bab 7

Aku tidak bisa kabur dengan perut besarku. Jadi aku menunggu sampai pria itu tiba di depanku. "Aku minta maaf soal malam itu... aku mabuk dan tidak terkendali. Aku..." matanya baru melihat ke arah perut buncitku. Perlahan matanya menyusuri tubuhku dan kembali menatapku. Ada keterkejutan yang nyata terperangkap di kedua manik cokelat terang itu. "Kamu... hamil?"

Ibu yang sedari tadi diam saja tiba-tiba maju lalu menggampar kedua pipi Pak Jimin di hadapan para pengunjung mall. Sebagian ada yang berkerumun, sebagian lainnya hanya melihat namun tetap melanjutkan aktivitas mereka.

"Jadi kamu laki-laki bangsat kurang ajar itu! Jangan pernah mendekati putriku lagi! Ayo, Yasmin!" Ibu menarik tanganku dan aku pun berbalik mengikuti langkah cepatnya.

"Yasmin!"

Tak menggubris panggilan Pak Jimin, Ibu tetap menarikku.

"Bu, pelan-pelan, perutku sakit," protesku dengan perut seperti ditusuk-tusuk. Aku tidak kuat lagi. Pandanganku berputar-putar, keringat dingin menyelimutiku. Tiba-tiba gelap menyambutku.

Samar-samar terdengar teriakan Ibu dan juga seorang lelaki.

***

Aku terbangun di sebuah ruangan serba putih dan hijau.

"Syukurlah kamu sudah sadar, Sayang. Maafkan Ibu...."

Aku langsung meraba perutku.

"Kandunganmu kuat, nggak apa-apa."

Aku menghela napas lega. "Aku... mau pulang, Bu."

"Kata dokter tunggu besok, kamu harus istirahat dulu."

Aku memandang berkeliling. Ruangan ber-AC dengan 1 ranjang rawat. Ada sofa, tv, lemari es. "Bu, kenapa di kamar mahal ini?"

Ibu menatapku dengan sendu. "Pak Jimin yang membiayai. Tunggu, jangan marah dulu, Sayang. Pak Jimin sudah minta maaf sama Ibu. Dia juga ingin minta maaf sama kamu. Dia bilang selama ini dia mencari kamu ingin minta maaf."

Aku menunduk menatap perutku. Pak Jimin mencariku untuk minta maaf? Kenapa? Untuk apa?

Pintu ruangan terbuka. Aku mendongak dan mendapati Pak Jimin. Ia tersenyum canggung. 

"Kalian bicara berdua, ya."

Aku ingin mencegah Ibu pergi, tapi lidahku terasa kelu. Jantungku bergemuruh hebat saat Pak Jimin berjalan mendekat hingga duduk di kursi samping tempat tidur menghadapku.

"Apa... apa itu anakku?" tanyanya, ada getar dalam suaranya membuatku mendongak. Matanya memerah, berkaca-kaca.

Aku menggigit bibir, mengangguk.

"Maafkan aku soal malam itu, Yasmin. Saat aku bangun dan mendapati nggak ada kamu di mana pun... aku merasa frustrasi. Aku teramat kacau. Sekar bilang dia telah mengusirmu sewaktu aku tidur. Aku bertanya pada satpam yang bertugas di cottage, dia bilang pada jam 3 dini hari ada seorang perempuan muda membawa tas dan meminta dicarikan ojek atau taksi online menuju terminal bus. Aku pun langsung pergi ke terminal karena kemungkinan kamu pulang ke kampungmu yang entah di mana. Aku memaksa untuk melihat cctv di terminal dan menunjukkan fotomu pada calo-calo di sana. Tapi, kamu nggak ada di mana pun. Aku mencarimu seperti orang gila. Aku... aku yang menolongmu, tapi aku juga yang malah menghancurkanmu...."

Aku terdiam mendengarkan sambil memperhatikan raut wajahnya. Tidak ada dusta di matanya. Pria ini rupanya benar-benar mengkhawatirkanku.

"Rasa bersalah terus menghantui. Aku nggak pernah bisa tidur nyenyak lagi. Aku takut terjadi sesuatu padamu."

"Sekarang Bapak tau saya baik-baik saja. Jadi Bapak nggak perlu merasa bersalah lagi."

Pak Jimin menggeleng, ia menatapku lekat. "Bila menemukanmu, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk mempertanggungjawabkan perbuatanku... dengan menikahimu."

Aku memelotot terkejut. "Nggak! Saya nggak mau merusak rumah tangga Bapak dan Bu Sekar!"

Pak Jimin menatapku sendu. "Rumah tanggaku sudah rusak. Aku sudah menceraikan Sekar, dia rupanya kerap bermain di belakangku bila pergi meeting atau dinas ke luar kota... dengan pria yang berbeda-beda. Dia ingin sekali punya anak, makanya dia melakukan hal itu." Pria di hadapanku tersenyum miris. "Malam itu... aku memergoki Sekar bermain gila di kolam renang hotel tempat dia meeting bersama temannya."

Aku hanya mampu menutup mulut dengan dada sesak. Pantas saja malam itu Pak Jimin mabuk. Pantas saja Pak Jimin mengamuk. Tapi tetap saja, perlakuannya padaku tidak dapat dibenarkan.

Pak Jimin turun dari kursinya, berlutut di hadapanku. "Aku belum tahu jenis rasa yang kumiliki terhadapmu, tapi aku berjanji akan mempertanggungjawabkan perbuatanku, Yasmin. Anak dalam kandunganmu membutuhkan ayahnya... dan selama ini aku pun menantikan mempunyai anak dari darah dagingku sendiri. Jadi Yasmin, maukah kamu menikah denganku?"

Aku menggigit bibir. Belum ada cinta di antara kami. Tapi mungkin... rasa sayang itu ada meskipun hanya seukuran butiran debu. Tapi, masa depan tidak ada yang bisa memprediksi. Hanya Sang Pemilik Kehidupan yang mengetahuinya.

"Berdirilah, Pak."

"Nggak, sebelum kamu menerima lamaranku."

Aku tersenyum. "Saya bersedia."

Karena terburu-buru berdiri, lutut Pak Jimin terantuk pinggiran ranjang dan ia mengaduh membuatku spontan tertawa.

Pak Jimin menatapku lekat. "Kamu cantik kalau tertawa, Yasmin. Apakah pernah ada yang memberitahumu?"

Aku tersipu.

“Kamu hamil malah kurusan. Apa kamu makan dengan benar?”

“Aku dan bayi kita... baik-baik saja, Bapak tenang saja. Aku banyak makan buah dan sayuran karena selama kehamilanku aku tidak bisa makan daging.”

Pak Jimin tersenyum, lalu mendekat dan memelukku. "Terima kasih, Yasmin."

Ah... apa aku bahagia? Entahlah, tapi yang pasti, aku merasa dadaku terasa lebih lega sekarang ini.

Tamat

Putri Permatasari, 9 September 2021, 08.21 wib.

Terima kasih yang udah mampir di lapak aku dan kasih vote nya 🥰🥰🥰

Note:
Next story silakan yang mau request member BTS favorit kalian.

Love and Life (Short Story Collection) by EmeraldWhere stories live. Discover now