PROLOG

14.4K 1.8K 39
                                    


Somebody else - 1975

***

Waktu sudah jam tiga pagi, yang artinya Ray harus pulang. Karena itu, ia mengancingkan gaun ketatnya asal-asalan, lalu meraih jubah hitamnya. Ray menatap dirinya sekali lagi di cermin, sebelum pulang. Lipstiknya luntur, karena ciuman agresif pak tua itu. Penampilannya masih rapi seperti pertama kali ia datang ke penthouse itu, sebab yah... pak tua itu tidak pandai dalam bercinta. Bahkan mereka hanya melakukannya selama kurang dari 15 menit dan pak tua itu langsung kehabisan nafas, lalu tidur. Itulah mengapa Ray senang mendapat sugar daddy yang sudah renta. Setidaknya ia hanya perlu bertahan selama 15 menit neraka itu, lalu ia bisa melakukan apa saja di penthouse itu sampai subuh tiba, termasuk menikmati wine dan juga terkadang menikmati jacuzzi.

Ray keluar dari penthouse pak tua itu dengan bertelanjang kaki. Ia menenteng hak tingginya sembari melangkah gontai ke arah lift. Tiba-tiba saja terdengar bunyi pintu tertutup dari salah satu kamar di jajaran penthouse itu. Tanpa menoleh pun, Ray tahu siapa itu. Mereka sering bertemu ketika subuh seperti ini, namun tak pernah saling bertukar sapa atau berbicara, meskipun tak terhitung berapa kali mereka berada dalam lift yang sama berdua saja. Sama seperti Ray, pria itu pun juga hanya pengunjung penthouse. Ray curiga profesi pria itu sama sepertinya yaitu menjadi simpanan muda.

Kecurigaan itu seolah menguat ketika melihat penampilan pria yang selalu berpapasan dengannya. Pria itu menawan dengan tubuhnya yang jakung dan tegap. Awalnya, Ray mengira pria itu seorang aktor, namun anehnya ia tidak pernah melihat wajah pria itu di televisi. Pembawaan pria itu juga santai dan -Ray bersumpah demi apa pun di dunia ini-, ia bisa merasakan aura playboy yang menguar begitu jelas dari pria asing itu.

Ray menekan tombol lift dan tanpa menunggu waktu lama, pintu lift itu terbuka. Ia masuk ke dalam lift dan berdiri di sudut sembari menyandarkan kepalanya di dinding. Pria itu pun juga ikut berdiri di sudut yang berseberangan dengannya. Posisi biasa setiap kali mereka pulang di jam yang sama.

"Ray," ucap Ray singkat, padat dan jelas.

Pria itu menoleh ke arah Ray, kemudian tersenyum miring. "Gavyn," jawabnya.

"Ada noda lipstik di kemeja kamu," gumam Ray lagi sembari menunjuk noda kecil di dada pria itu dengan dagunya.

"Warnanya sama seperti lipstik kamu," canda Gavyn dengan nadanya yang menggoda.

Ray tertawa mendengar ucapan pria itu. "Apa kamu rebutan wanita kaya?" tanya Ray lagi dengan nadanya yang santai. Entahlah, menurut Ray, jam tiga pagi adalah waktu yang magis, sebab kini ia bisa berbicara dengan pria asing itu seolah mereka sudah berkenalan cukup lama.

"Untuk dijodohkan, maksud kamu?" tanya Gavyn sembari menaikkan sebelah alisnya.

Ray mengerutkan keningnya tidak mengerti. "Sebagai teman tidur," jawab Ray singkat, padat dan jelas.

Mendengar hal itu, Gavyn terdiam beberapa detik, lalu tertawa. Pria itu tertawa seolah apa yang dikatakan Ray adalah hal yang paling lucu yang pernah ia dengar. Melihat tawa Gavyn, Ray tersenyum geli.

"Sepertinya dugaanku tentang kamu salah," gumam Ray.

"Mungkin satu yang benar," balas Gavyn pelan. Keduanya saling bertatapan satu dengan yang lain. Ray tersenyum miring ke arah Gavyn, tidak sabar menunggu jawaban pria itu.

"Aku memang mengunjungi teman tidurku," tambah Gavyn lagi. "Dan aku cukup menikmati malam ini."

Ray mendengus geli, mendengar ucapan Gavyn. Di sisi lain, Gavyn memindai tubuh Ray secara terang-terangan dengan, lalu tatapannya berhenti di bibir Ray, sebelum naik ke mata wanita itu. Tanpa Ray sadari, apa yang dilakukan Gavyn nyatanya meningkatkan tensi seksual tak kasat mata di antara mereka. Gavyn mengakhiri penilaiannya itu dengan senyuman miring di wajahnya.

"Nggak heran wajah kamu berbunga-bunga," canda Ray, seolah mereka sudah berteman cukup lama. Gavyn kembali tertawa mendengar ucapan Ray. Tiba-tiba saja terdengar bunyi lift yang menandakan mereka sudah sampai di lobby

"Okay, then," ucap Ray pelan, sebagai tanda perpisahan di antara mereka. Ray melambaikan tangannya pada Gavyn sebagai salam perpisahan, lalu berniat melangkah keluar dari lift tersebut. Namun, langkahnya terhenti, ketika Gavyn malah mendahuluinya dan menekan tombol untuk menutup pintu lift itu, seolah menghalabgi jalan keluar Ray.

Ray melebarkan matanya kaget, kemudian mendongak ke arah pria itu.

"Aku ingin kita bertemu lagi," ucap Gavyn terang-terangan.

"Kita pasti bertemu lagi," balas Ray santai.

"Tidak di lift," jawab Gavyn.

"Lalu di ranjang maksud kamu?" Ray melontarkan kalimat itu tanpa malu. Ray tidak peduli jika pria ini berpikir aneh-aneh tentangnya, lagipula apa pun yang dipikirkan pria itu adalah fakta. Ia memang seorang pelacur.

"Itu bisa dipertimbangkan." Gavyn mengangkat bahunya, seolah hal itu bukanlah hal yang besar.

"I don't do 'dating and stuff', kalau itu yang kamu maksud," gumam Ray lagi.

"But you do 'friends and stuff' right?" balas Gavyn sembari memasang senyuman menawannya.

"No." Ray tersenyum manis, berbanding terbalik dengan ucapannya yang singkat, padat dan jelas. "Kontrakku dengan pak tua itu akan berakhir bulan depan. Jadi, kalau kamu ingin melakukan 'friends and stuff', kamu bisa telepon aku dan kita akan bahas kontraknya bersama."

Setelah berkata demikian, Ray menekan tombol untuk membuka pintu lift itu. Ketika pintu lift itu terbuka, Ray langsung keluar dari sana tanpa salam perpisahan, meninggalkan Gavyn dengan senyuman tertarik di wajahnya.

TBC....

Iya, hai frens, aku emang masih hiatus hitungannya, tapi lagi pengen nulis😭, jadi yaa

HOW TO BE A (FAKE) CRAZY RICH✔Where stories live. Discover now