PROLOG 1.2

11.8K 1.7K 89
                                    

"Bajunya pas gak, Ma?" tanya Ray sembari menatap punggung sempit ibunya yang tengah menyiapkannya bekal di pagi hari.

"Pas, pas sekali," jawab ibunya dengan senyuman senang. "Kamu buat sendiri?"

Ray mengangguk dengan wajah bangganya. "Ada banyak kain sisa dari butik, jadi Ray buatin patchwork aja untuk mama. Ternyata cakep juga."

"Kenapa nggak buatin untuk kamu sendiri?" tanya ibunya tanpa mengalihkan fokus dari bekal yang sedang ia siapkan untuk anaknya.

"Ray malas kalau harus ngukur badan sendiri," jawab Ray sembari cengengesan.

Sudah satu tahun lebih, ia akhirnya lepas dari statusnya sebagai simpanan. Ia juga kini tidak perlu lagi harus terpaksan menikmati seks dengan pria tua. Kini, keuangan keluarga Ray lebih stabil. Ray bahkan menggunakan seperempatnya untuk kursus pola baju dan juga bahasa Perancis, sebab ia ingin sekali bekerja di rumah mode besar. Kini, Ray sudah memiliki pekerjaan yang baik dan menghasilkan uang yang cukup. Tak disangka Ray akhirnya ia bisa menggeluti pekerjaan idamannya, yaitu sebagai pattern maker di salah satu butik adibusana terkenal di Jakarta. Ray tidak pernah sebangga ini sebelumnya. Hidupnya sudah sempurna, kecuali pengalamannya yang menjadi pelacur untuk beberapa bulan itu. Menjadi pelacur memang melelahkan dan memalukan, namun nyatanya pekerjaan itulah yang menyelamatkan ibunya dan juga kehidupannya.

Tanpa menjadi simpanan, Ray tidak akan bisa membayar prosedur cuci darah ibunya. Tanpa menjadi simpanan juga, ia tidak mungkin bisa menjadi seorang patternmaker. Dan tanpa menjadi pelacur, Ray mungkin sudah kehilangan ibunya sekarang. Ibunya kini sehat dan berseri-seri. Itu sudah lebih dari cukup untuk Ray.

"Liburan ini kita ke Bali gimana, Ma?" tanya Ray sembari mencomot tempe goreng di meja makan.

"Nggak usah," balas ibunya sembari meletakkan kotak bekal yang terbuka itu di depan Ray. Mata Ray berbinar ketika melihat ada perkedel kesukaannya. Ketika ia ingin mencomotnya, tangannya langsung dipukul oleh ibunya.

"Nanti," ucap ibunya dengan nada marah. Ray kembali cengengesan yang ditanggapi dengan gelengan dari ibunya.

"Kenapa nggak usah?" tanya Ray tidak terima.

"Katanya kamu mau cicil rumah," jawab ibunya.

"Itu gampang," balas Ray sembari mengibaskan tangannya. "Kan kita nggak pernah ke Bali, terus Mama juga dari dulu pengen ke Bali."

"Di Jakarta juga ada Bali," gumam ibunya sembari duduk di hadapan Ray.

Ray mengerutkan keningnya bingung. "Sejak kapan?"

"Itu di Ancol," canda ibunya sembari tertawa lebar. Di sisi lain, Ray tidak menangkap lelucon ibunya. Jadilah ia hanya diam, mengunyah tempe goreng sembari menonton ibunya yang menertawai candaannya sendiri. Lama-lama tawa itu menular. Ray pun juga ikut mendengus geli, meskipun tawanya tak seheboh ibunya.

"Udah. Pokoknya, Ray pesankan tiket ke Bali untuk liburan bulan Juni nanti," ucap Ray tidak ingin dibantah.

"Mending kamu..." Ibunya masih terus membantah dan berusaha menjelaskan uang itu sebaiknya digunakan untuk hal yang lebih berguna. Di sisi lain, Ray menulikan pendengarannya, sembari menyusun kotak bekalnya yang ia masukkan ke dalam tas dan mencium pipi ibunya sebagai ucapan selamat tinggal.

"... siapa tahu lebih berguna. Kamu harus bisa nabung dari sekarang." Sebelum ibunya sempat menyelesaikan kata-katanya, Ray sudah menghilang dari balik pintu rumah. Ibu menghela nafas pelan dengan senyuman lembut perlahan-lahan tersungging di wajahnya. Namun, senyuman itu luntur seketika saat menyadari satu hal.

HOW TO BE A (FAKE) CRAZY RICH✔Where stories live. Discover now