6. PAGI HARI

9.9K 1.3K 55
                                    

Ketika Ray terbangun di pagi hari, ia tidak menemukan Gavyn di ranjangnya. Ray beranjak duduk sembari mengusap wajahnya dengan perasaan malu. Ia malu bukan karena menyesali seks di antara dirinya dengan Gavyn. Percintaan di antara mereka menyenangkan dan panas, hanya saja Ray malu sekali setiap kali mengingat bagaimana ia meminta Gavyn untuk lebih lembut padanya. Momen itu selalu membuatnya jengkel, karena lagi-lagi harga dirinya yang tinggi tersakiti.

Ray meraih jubah tidurnya yang tipis, kemudian memakainya. Tubuhnya terasa pegal, apalagi pinggang dan kakinya. Ia baru tahu ternyata percintaan yang sebenarnya bisa semelelahkan ini. Kram di tubuhnya seolah seperti Ray berolahraga penuh seharian. Namun, Ray tidak dapat memungkiri ia belajar banyak hal baru dari Gavyn, terutama cara menyenangkan dan menyamankan dirinya selama percintaan. Awalnya memang terasa tidak nyaman, namun mendekati akhir, Gavyn sabar mengajarinya bagaimana harus bersikap.

Ray menggosok giginya sembari mematut dirinya di depan cermin. Matanya melebar kaget ketika ia melihat bekas kemerahan yang memenuhi leher dan pundaknya. Ray menggeram jengkel, sebab akan sulit nantinya untuk menutupi bekas-bekas itu. Lagi pula, manusia macam apa Gavyn hingga sebegitu niatnya memberikan bekas di tubuhnya? Apa pria itu semacam nyamuk? Bahkan nyamuk pun tidak akan serakus ini.

Ketika Ray selesai menuntaskan kegiatannya di kamar mandi, ia melangkahkan kakinya ke arah pantry. Ray dikagetkan dengan Gavyn yang nyatanya masih ada di kamar hotel itu. Pria itu tengah memasak makan pagi untuk mereka, sebab wangi daging dan telur tercium begitu jelas. Gavyn membelakanginya dan sialnya lagi, pria itu hanya memakai celana panjangnya yang semalam. Punggung lebar dengan ototnya yang kuat menjadi pemandangan pagi hari Ray.

"Tjandrakusuma nggak bisa beli baju?" gerutu Ray sembari menaikkan sebelah alisnya mengejek.

Gavyn menoleh ke arah Ray sesaat, kemudian tersenyum tipis. "Kalau aja kamu lebih sabaran semalam, aku nggak akan shirtless seperti ini."

"Alasan," balas Ray sembari mendengus geli.

Belum sempat Gavyn menjawab, tiba-tiba saja terdengar bunyi bel pintu kamar Ray. Ray menoleh bingung ke arah bel kamarnya. Ia tidak ingat memesan room service pagi ini.

"Itu asistenku, Bagas. Dia ngantarin baju," ucap Gavyn, meluruskan kecurigaan Ray.

"Aku aja yang buka," gumam Ray santai sembari meraih jas Gavyn yang digantung di dekat pintu masuk. Ray memakai jas pria itu untuk menutupi semi ketelanjangannya, sebelum membuka pintu kamarnya.

Matanya langsung bertemu dengan seorang pria jakung berjas rapi yang menatapnya kaget. Ray mengulurkan tangannya, menagih pakaian Gavyn. Bagas memberikan kantong kertas itu pada Ray dengan gelagatnya yang sungkan dan pipinya yang memerah.

"Itu... Mbak... umm..."

"Makasih," jawab Ray cepat, sebelum menutup pintu kamar hotelnya, tidak membiarkan Bagas melanjutkan perkataannya.

"Jangan judes-judes," ucap Gavyn yang tiba-tiba saja sudah bersandar di lemari, tempat menyimpan jas dan sepatu tamu.

Ray melepaskan jas Gavyn dan melemparkannya begitu saja di lemari yang terbuka itu, tanpa sungkan menunjukkan tubuhnya di balik kain tipis tersebut. Ray menjulurkan tangannya pada Gavyn, memberikan pria itu tas titipan itu. Gavyn mengulurkan tangannya, seolah ingin meraih tas kertas itu, namun tak disangka Ray, tangan pria itu malah berlabuh di lengannya. Gavyn menggeserkan jubah lengan Ray agar tangannya bisa bersentuhan langsung dengan kulit Ray. Hal itu membuat Ray panik dan langsung memukul tangan pria itu. Ray menekan tas kertas itu di dada Gavyn dan pergi begitu saja, meninggalkan Gavyn yang tertawa pelan.

"Sudah aku bilang, jangan judes-judes," balas Gavyn santai sembari mengekori Ray ke arah pantry. Diletakkannya tas kertas itu di meja makan sembari terus mengikuti wanita berambut pendek di depannya.

Ray mengisi gelasnya dengan air putih, tanpa mempedulikan Gavyn yang kini mulai mengurung tubuhnya di antara kedua lengan pria itu. Mata Gavyn tak sengaja berlabuh pada bekas gigitannya di tengkuk Ray semalam. Seberkas senyuman geli muncul di wajah Gavyn, mengetahui karyanya ternyata cukup cantik. Gavyn mengecup karyanya itu dengan lembut, membuat Ray menghela nafas pelan.

"Semalam nggak cukup?" tanya Ray dengan nada marahnya.

"Itu pertanyaan bodoh, Ray," balas Gavyn sembari menarik tubuh Ray semakin menempel ke arahnya.

"Kalau gitu aku ingin bayaran lembur," jawab Ray sembari mendongakkan kepalanya ke belakang, agar ia bisa menatap mata Gavyn.

Gavyn tertawa mendengar ucapan Ray. "Just set the price," balas Gavyn mudah.

"Aku selalu penasaran apa yang nggak bisa dibeli Tjandrakusuma," gumam Ray dengan nadanya yang menyindir, sembari melanjutkan kegiatannya membuat teh.

"Mungkin membeli versi Ray yang patuh dan ramah." Gavyn menyindir balik Ray, mengingat perkataannya kontras dengan kenyataannya.

Ray mendengus mendengar ucapan Gavyn. Pelukan Gavyn di tubuhnya mengerat. Pria itu menenggelamkan wajahnya di lekuk leher Ray, membuat bulu kuduk Ray berdiri.

"Minggu depan bachelor party-ku," ucap Gavyn sembari mengamati tangan Ray bekerja. "Aku masih belum puas dengan kamu."

Ray tetap diam, membiarkan Gavyn melanjutkan perkataannya. "Aku bisa cuti tiga hari lebih cepat, mengingat jadwalku nggak padat banget bulan ini."

"Kamu akan mengurungku di sini dan kita akan melakukannya seharian? Itu maksud kamu?" balas Ray tanpa sungkan.

"Ide menarik. Bisa dipertimbangkan," canda Gavyn pelan yang dihadiahi sikutan tajam dari Ray.

"Maksud aku itu... gimana kalau kita lebih dulu berangkat ke Paris?" lanjut Gavyn lagi.

Ray menghentikan pekerjaannya kemudian menoleh kaget ke arah Gavyn. Binaran di matanya tidak dapat ia sembunyikan. "Sungguan?" tanya Ray tidak percaya -dalam arti hang baik.

Gavyn mengangguk dengan senyuman hangat tersungging di wajahnya, apalagi melihat Ray yang tampak bersemangat. Setidaknya ada satu emosi manusiawi muncul di wajah wanita itu selain ekspresi judes dan ekspresi nakalnya.

"Mungkin kita sehari bisa di Paris dulu, terus hari setelahnya kita ke Nice, baru balik ke Paris lagi," lanjut Gavyn tampak berpikir. "Terlalu padat menurut kamu?"

Ray menggelengkan kepalanya cepat dengan binaran di matanya yang masih tetap sama seperti tadi.

"Oke, kamu kasihkan aja pasport kamu ke Bagas untuk diurus visanya," tutur Gavyn lagi sembari mengusap wajah Ray dengan lembut.

"Makasih," ucap Ray tulus, tanpa ekspresi yang dibuat-buat. Ray memeluk leher Gavyn kemudian berjinjit dan menghadiahkan pria itu ciuman demi ciuman di pipi, hidung dan bibir.

"Ternyata harus begini dulu untuk dapat ciuman dari kamu," canda Gavyn, balas memeluk Ray dengan erat.

"Bayaran lembur aku lunas," bisik Ray, memberi lampu hijau untuk Gavyn. Gavyn adalah pria yang simpel. Ia tidak akan melewatkan kesempatan apa pun yang ditawarkan semesta padanya, termasuk kembali melakukannya dengan Ray, entah yang ke berapa kalinya.

TBC...

Lupakan Tatyana kawan✨, pilihlah Ray✨

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Lupakan Tatyana kawan✨, pilihlah Ray✨

Ray agak dark sih tapi seru, karakternya tu femme fatale sekali. Tatyana emang agak fun di cerita sebelumnya hanya dia terkesan sedikit hambar😭🤌 #maafTat

DIPINDAHKAN KE KARYA KARSA

Link Karya Karsa di bio wattpad

HOW TO BE A (FAKE) CRAZY RICH✔Where stories live. Discover now