7. Belum Usai

242 59 1
                                    

Amitriptyline adalah obat antidepresan trisiklik yang digunakan untuk mengobati masalah kejiwaan seperti perubahan suasana hati secara drastis dan depresi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Amitriptyline adalah obat antidepresan trisiklik yang digunakan untuk mengobati masalah kejiwaan seperti perubahan suasana hati secara drastis dan depresi.

Hersya langsung melemparkan handuknya ke atas kasur. Dia menjauhkan layar ponsel dari pandangannya. Mendadak dada Hersya terasa seperti dihantam beton besar.

"Depresi?" cicit Hersya, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dia baca.

Mumpung masih ingat dengan tulisan di kemasan obat milik Pelangi, Hersya iseng mencari informasi selengkapnya di Google. Namun, dia sama sekali tidak menyangka isengnya itu akan berakibat fatal. Rasa khawatir Hersya pada Pelangi menjadi dua kali lipat lebih besar dari sebelumnya.

Walaupun telah ditinggalkan tanpa kata perpisahan, bukan berarti rasa benci mampu menguasai Hersya saat ia teringat akan Pelangi. Meski sudah 4 tahun tak bersua, bukan berarti bayang-bayang cewek itu tidak sering datang tanpa bisa Hersya cegah. Biarpun sudah menjalin kedekatan dengan banyak cewek, bukan berarti Hersya melupakan Pelangi begitu saja.

Wajah cantiknya, senyum manisnya, suara lembutnya, sudah tak terhitung berapa kali Hersya dihantui semua itu selama ini. Sekalipun sudah menghabiskan waktu seharian dengan April, tak jarang malamnya Hersya justru memimpikan Pelangi. Entah mengapa begitu sulit untuk Hersya meloloskan diri dari sosok Pelangi Bratarini.

"Hersya!"

"Hah?!" Hersya terlonjak saat pintu kamarnya terbuka.

Jevino dan Nathaniel lantas tersenyum penuh arti. Sedangkan Marven tertawa melihat wajah kaget sahabatnya.

"Kenapa lo kaget? Lebay banget," cetus Jevino. "Lo enggak lagi nonton yang iya-iya, 'kan?"

Nathaniel terkekeh. "Tenang aja, Sya. Umur lo udah dua puluh satu, kok. Legal, lah."

"Enggak bisa gitu, lah!" sewot Marven. "Kalau patokannya umur, ya, emang legal. Tapi, kan, tetep aja dosa. Inget, kita itu gak tahu kapan ajal bakal ngejemput. Kan, gak lucu kalau mati pas lagi maksiat. Tanpa hisab, just say hello to the hell."

"Kenapa bawa-bawa dosa, Ven? Emang lo tahu apa yang kita maksud?" Jevino tersenyum lebar.

"Video ... itu, 'kan?" tanya Marven, memastikan pemikiran mereka sama.

"Wah ... otak lo harus disapu, nih, Ven. Sekarang ketahuan siapa yang pikirannya kotor." Nathaniel geleng-geleng kepala. Lalu, dia menepuk bahu Marven lumayan keras. "Tontonan yang kita maksud di sini film The Raid, yang pemainnya Iko Uwais. Kan, itu cuma boleh ditonton sama orang dewasa karena banyak adegan kekerasannya."

Mendengar itu, Marven hanya bisa terdiam. Dia tahu pasti, maksud Jevino dan Nathaniel bukan film The Raid. Hanya saja, mereka akan begitu kompak jika sudah menjadi kawan berdebat. Marven tidak akan menang. Jadi, lebih baik dia mengalihkan pembicaraan saja.

"Kita mau ke Pak Munir. Mau ikut, gak?" tanya Marven pada Hersya.

"Iya, gue ikut." Cowok segera menyambar dompetnya di atas meja dan melangkah menuju pintu. "Kalau masuk kamar orang itu ketuk pintu dulu, dong. Jauh-jauh bilang salam, main buka aja."

Melodi Tentang Kita [Tamat]Where stories live. Discover now