17. Melewati Batas

188 35 4
                                    

"Nanti pulang jam berapa, ya, Nak Hersya?" tanya Bu Ranti—yang baru saja kembali dari dapur dengan nampan penuh makanan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nanti pulang jam berapa, ya, Nak Hersya?" tanya Bu Ranti—yang baru saja kembali dari dapur dengan nampan penuh makanan.

"Jam delapan, Tan. Setelah makan malam, saya langsung antara Pelangi pulang," jawab Hersya, penuh dengan kemantapan. "Atau saya beli makanan di luar terus makannya di rumah aja, Tan?"

Dengan cepat Bu Ranti menggelengkan kepala. "Gak usah, makan di tempatnya aja." Beliau tersenyum kecut. "Pelangi selalu makan di rumah. Tante sudah coba ajak dia makan di luar, bahkan sampai memesan ruangan khusus untuk berdua, tetapi dia selalu tidak nyaman. Siapa tahu, dengan Nak Hersya, Pelangi bisa lebih berani."

"Saya akan usahakan, Tan. Tapi, jika Pelangi tidak mau, saya tidak akan memaksa."

Bu Ranti mengangguk setuju. "Nak Hersya bisa bawa mobil? Kalau bisa, pakai aja mobil tante."

"Emang, boleh, Tan?" tanya Hersya.

"Boleh. Lagipula, kalian pasti masih ada kelas untuk besok. Sayang kalau absen karena masuk angin. Apalagi Nak Hersya, bagian duduk di depan kalau naik motor." Bu Ranti tersenyum hangat, selayaknya seorang ibu. "Sebentar, ya, tante bawa dulu kuncinya."

Malam ini, Hersya datang kembali ke rumah Kebayoran Lama. Kali ini, bukan Taman Kerinci yang akan menjadi tempat Hersya memberikan terapi. Lebih ekstrem dari itu, dia akan membawa Pelangi ke pusat perbelanjaan. Memang sangat berisik, tetapi dia sudah diajarkan Bu Ranti untuk menenangkan Pelangi jika ada sesuatu yang tidak diinginkan.

Tak berselang lama, Pelangi pun bergabung di ruang tamu. Seperti biasa, gadis itu mengenakan celana jins panjang dan kaus oblong. Kali ini, tangan mulusnya dibalut kadigan rajut berwarna biru muda dan rambut pendeknya dihiasi barettes kuning berbentuk bunga matahari. Sedangkan kaki jenjangnya dibalut sepatu kets putih. Meski sederhana, tetapi penampilan Pelangi selalu memesona.

Setelah menerima kunci mobil dan berpamitan, mereka berdua pun segera beranjak dari sana.

Pelangi menatap Hesya—yang sudah duduk di kursi kemudi—dengan gamang. "Sya, emang kamu bisa bawa mobil?"

Lantas Hersya menoleh. Dia tersenyum miring sembari membusungkan dada penuh bangga. "Bisa, dong. Apa, sih, yang gak bisa dilakukan Hersya Gaelan?" Lalu, dia menyalakan mesin mobil, siap meluncur. "Tenang aja, jangan tegang begitu. Aku gak akan berani bawa mobil mama kamu kalau belum punya SIM. Beberapa kali juga aku bawa mobil Cleon sepulang latihan."

"Bawanya gak usah ngebut-ngebut, ya?" pinta Pelangi. Pada akhirnya, dia berusaha percaya dengan kemampuan menyetir Hersya.

"Iya, La. Aku sadar diri, kok. Aku lagi bawa anak cewek orang. Dipulanginnya harus sama utuh kayak pas berangkat," terang Hersya. Lalu, dia melayangkan telunjuknya ke arah Pelangi seraya tersenyum miring. "Kita mau jalan, lho, La. Kenapa kamu belum pakai sabuk pengaman? Perlu aku bantuin?"

Saat itu juga, Pelangi langsung gelagapan. Dia segera menarik sabuk pengaman dan memasangnya sampai terdengan bunyi 'klik!'. "Aku bisa sendiri!" ketusnya.

Melodi Tentang Kita [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang