26 || Titik Balik

58 15 0
                                    

Part 26 - Titik Balik

***

Celangak-celinguk. Vino terlihat memutar balik motornya mendekati Reha. Saat lajunya berhenti, Vino pun memarkir kendaraan beroda dua itu di sisi trotoar jalan yang perlahan menyepi.

Reha memerhatikan. Dalam diam ia menatap Vino yang baru saja melepas helm dan menyampirkannya di kaca spion. Kemudian berdeham berusaha terlihat biasa saja.

"Hai," sapa Vino terlihat agak canggung, mengusap tengkuknya dengan suara serak.

"Sakit lo?" tanya Reha sambil menaikkan alisnya sebelah merasa aneh. Bagaimana tidak aneh, biasanya kan kalau mereka ketemu, Vino langsung asal jeplak menyapanya tidak tau malu. Lah, sekarang kok malah ... begini.

Sementara itu, Vino menggigit bibir bawah mulai ragu membuka mulut. Tidak bisa membayangkan reaksi gadis ini kalau tahu karton berisi kecoa yang baru saja ia buang di sana berasal dari Bundanya.

"Yang lo buang tadi ...." Vino menelan ludah sesaat sebelum melanjutkan, "apaan?"

"Kerajaan kecoa," jawab Reha apa adanya.

Mendengar itu, jelas Vino mendesis merasa frustasi. Dalam hati meruntuki diri sendiri. Meski laju kendaraannya dari rumah sudah cepat, tetap saja paket itu tiba lebih dulu. Pada akhirnya, pemuda berkaos hitam dan celana pendek selutut itu hanya bisa melapangkan dada setelah kejadian ini.

Pasti Reha tambah ilfeel padanya.

"Gue minta maaf, Re. Kardus isi kecoa itu dari Bunda gue."

Reha diam saja, belum menjawab dan hanya memandangi Vino yang tampak menghela napas berat di depannya. Tertunduk, raut pemuda itu nelangsa. Dia benar-benar putus asa sekarang.

"Gak masalah."

Vino tersentak. Spontan mengangkat dagu, memasang tatapan berbinar karena respon Reha di luar dugaannya. "Kenapa?"

Reha mendecak. "Selama bukan boneka santet, ya bodo amat. Gue juga gak takut kecoa kali."

Ah, rupanya begitu. Menyadari Reha yang membuang sendiri kardus berisi kecoa tadi, sepertinya Vino bisa sedikit lega. Tapi tetap saja, rasa bersalahnya belum hilang.

Sementara itu, Reha bergerak kecil memandang sisi jalanan yang hampir tidak ada kendaraan lagi. Lalu beralih pada langit. Suasananya kok jadi canggung ya?

"Maafin Bunda gue, Re."

Gadis itu melirik karena Vino kembali mengatakan kalimat yang hampir serupa.

"Jujur, gue malu datangin lo setelah kejadian ini, tapi gue sadar kalau gue juga harus minta maaf," jelas Vino lagi dengan kening mengerut samar.

Reha melebarkan mata, tapi segera menguasai diri dan mendengkus sarkas. "Yaudah, sekalian gak usah nampakin diri lagi. Gampang kan?"

Mendengar kalimat telak gadis di depannya ini, Vino jadi gelagapan. Sebenarnya bukan umpan balik seperti ini maksudnya.

"Gak gitu juga," cicit Vino tidak habis pikir.

"Reha!"

Percakapan mereka diinterupsi. Reha langsung menoleh begitu namanya dipanggil dari kejauhan. Begitu pula Vino yang spontan mengerutkan alis melihat cowok yang tidak ia kenal itu berlari menghampiri mereka.

Pemuda berjaket biru langit itu melirik Vino begitu tiba, lalu menatap Reha dengan santai. "Kok lo lama banget sih? Tiramisu gue belum dibikin asal lo ingat," ujarnya tenang.

"Oh, iya. Gue lagi ngomong sama dia sih," jawab Reha sambil menunjuk kecil Vino. Yang ditunjuk tidak bereaksi, selain mendengkus sinis membalas tatapan Mail.

Bitter As a Medicine [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang