37 || Mengalah

58 18 0
                                    

Part 37 - Mengalah

****

"Saya mau izin ke wc, Pak." Cemara meringis pelan sambil menurunkan tangan. Guru sejarahnya itu mengira dirinya akan mengajukan pertanyaan, padahal ada urusan mendesak ke kamar kecil.

Setelah mendapat izin, gadis bermata sipit itu pergi dan mengabaikan Tiwi yang memohon ingin ikut keluar juga. Tahu niat terselubung temannya tersebut, Cemara menjulurkan lidah dan segera ngacir meninggalkan Tiwi yang mencibirnya di sana.

Cemara mengernyit. Tidak seperti biasanya yang dibiarkan terbuka, pintu toilet di depannya ini tertutup. Mungkin baru selesai dibersihkan karena tadi Cemara sempat liat beberapa anggota SCL berbondong-bondong membawa alat kebersihan ke dalam wc.

Tidak ingin terlalu lama berpikir, gadis bermata sipit itu menyentuh gagang pintu hendak membukanya. Namun gerakannya Cemara berhenti saat menyadari ada pertengkaran kecil dari balik sana. Tanpa sadar melupakan tujuannya meminta izin untuk membuang hajat, berganti menempelkan telinga ke daun pintu ingin mendengar.

"Dibanding lo, gue lebih duluan tau siapa itu kak Vino."

Cukup lama Cemara mendengar percakapan tersebut. Dia juga sudah bisa menebak siapa dua gadis yang ada di dalam tempat tersebut. Reha dan Vania. Yang tak lama, rahang Cemara mengeras karena Vania berbicara seolah mengancam Reha dengan kata-kata yang teramat pedas.

Yang benar saja. Vania, gadis yang Cemara tahu sangat baik dan sopan itu. Bahkan dengan suka rela membagi tugasnya pada teman-teman di kelas, termasuk pada Reha. Dan sekarang hanya karena cowok kayak Vino, dia sampai berlaku seperti itu? Pada Reha yang mereka semua tahu sedang berada di masa sulit akibat penyakitnya.

Tidak bisa lagi mendengar lontaran Vania dari balik pintu, Cemara pun membuka pintu itu dan menginterupsi keduanya. "Cukup. Gue gak tau kalau selama ini, lo semunafik itu, Van," sindir Cemara menatap Vania kecewa.

Sementara Reha bergetar kecil di tempatnya, sudah bisa melihat pertengkaran di antara keduanya. Gadis itu mengusap hidung, hendak menghentikan Cemara, namun Vania lebih dulu menanggapi.

"Lo tau apa, Ce? Cuma Reha yang selalu lo bela," katanya dengan nada terluka. Mencoba menutupi keterpojokannya karena tertangkap basah oleh Cemara. "Ini urusan hati, lo gak bakal ngerti."

"Elo yang gak pernah jujur, Vania. Gue kira kita semua teman. Solid apanya kalau ternyata lo cuma munafik nerima Reha apa adanya," balas Cemara tajam dan mengingatkan pada gadis itu bahwa ia juga setuju untuk menerima Reha waktu itu.

Vania melengos. Menggigit bibir bawah sesaat, lalu membuang napas kasar berusaha menguasai diri. Kemudian menatap Cemara tepat dan berkata, "Memangnya lo mau dengar apa? Lo, Tiwi, dan yang lain cuma peduli sama Reha. Kalau gue bilang suka Vino juga, kalian pasti minta gue mundur. Apalah gue yang cuma didatengin pas ada tugas doang."

Sesak, Reha merasa tidak bisa bernapas melihat pertengkaran yang terjadi karena dirinya tersebut. "Cemara, Vania, gue mohon jangan bertengkar." Reha termundur saat Cemara maju dan menarik tangannya agar berdiri di belakangnya.

Cemara mendengkus, tidak menggubris perkataan Reha. Kesal mendengar kalimat Vania yang seakan menuduhnya tidak tulus dalam berteman. "Jadi lo nganggap gue temenan sama lo cuma karena itu?" tanyanya dengan nada menuntut. Merasa tidak terima karena dianggap rendah oleh gadis itu. Setidaknya, jika gadis itu jujur, Cemara akan mengusahakan mencari jalan keluar dan tidak membiarkan salah satu di antara mereka bersedih terlalu lama.

"Gue gak seburuk anggapan lo, Vania." Suara Cemara bergetar. Dia mendengkus, mengusap matanya yang mendadak berembun karena Vania bahkan tidak tergerak untuk menarik ucapannya.

Bitter As a Medicine [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang