30 || Kebenaran yang Menyakitkan

63 17 0
                                    

Part 30 - Kebenaran yang Menyakitkan

****

"Ahk, Vino bodoh! Lepasin, ih." Gadis itu mengumpat, berusaha melepaskan genggaman Vino. Lalu, mulai memerotes saat Vino melepaskan tangannya tepat di belakang lab biologi. Kebetulan tempat itu sepi, membuat si wakil ketua OSIS tidak neko-neko mengeluarkan kekesalannya. Biasanya ia tidak akan terlalu banyak bergerak, tapi Vino malah menyia-nyiakan bantuan Delima. Sekarang gadis itu merasa tidak enak pada ketua OSIS-nya karena usaha mereka tidak berjalan mulus. "Masih untung Delima Kirania mau buang harga diri demi bantu lo.”

“Gue gak minta bantuan,” sahut Vino. Suara seraknya membuat Fidelya mengernyit.

“Eh, buset.” Fidelya merespon histeris begitu Vino menoleh padanya, memperlihatkan wajahnya yang tampak mengerikan dengan genangan air mata yang sudah jatuh ke pipinya. “Vino ….” Yang sukses membuat gadis berkuncir itu merasa bersalah. Bukan hanya Fidelya, bahkan Delima yang tadinya meledak-ledak mendadak mematung. Mereka tidak memerotes lagi.

“Kalian terlalu ikut campur,” hardik Vino pada keduanya. Tidak mengindahkan apa pendapat kedua gadis itu lagi, cowok itu membuang napas kasar. Air matanya masih deras, sesekali ia akan sesegukan untuk melampiaskan segala rasa sakit dan marahnya. Lalu, Vino menjatuhkan diri dan duduk di teras belakang lab biologi karena kakinya juga perlahan kehilangan pertahanan. Dia hanya mampu menyembunyikan wajah nelangsanya dengan kedua telapak tangan.

Kemudian berkata lirih, “Kalian berdua yang selalu maksa, padahal gue udah negasin berkali-kali. Cukup sampai di sini aja. Masih syukur Reha gak respect-nya ke gue doang, gimana kalau dia juga lakuin itu ke kalian? Dia udah cukup sabar dan diam, begitu pula gue. Jadi tolong, gue mohon biarin kayak gini dulu. Gue butuh waktu. Rasanya sakit dan pahit. Kalian gak akan tau gimana rasanya jadi gue karena kalian ada dipihak yang dikejar, bukan mengejar.”

Delima yang baru akan duduk di sebelah Vino berniat menenangkan pemuda itu jadi mengurungkan niat, hatinya mencelos dan tanpa sadar air matanya ikut berjatuhan.

Ya, argumen Vino memang tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Bukannya mereka tidak ingin mengerti, bukannya mereka ingin memaksa, namun mereka tidak bisa melihat Vino yang terus-terusan bersedih dan terluka. Oleh karena itu, mereka mencoba untuk turun tangan dan membantunya sedikit. Namun seperti kata orang ‘eksprektasi tidak akan pernah sesuai dengan realita’. Dan itulah yag terjadi sekarang.

Sementara Fidelya, gadis itu masih terpaku dengan bibir terbungkam, menatap cowok itu dengan mata yang menyanyu. Memilih tidak menangis walau hatinya juga mendung.

“Tolong hargai keputusan gue walau itu bakal bikin gue tambah sakit. Kalian sahabat gue, harusnya lebih mengerti apa yang gue mau,” sindir Vino dengan suara rendah, namun terdengar menusuk.

“Kita gak ada maksud, Vin. Gue cuma gak suka kalau lo murung terus, gue … merasa bersalah. Sebagai teman, sesekali gue juga pengen berguna.” Fidelya membela diri. Tangannya mengepal, masih bertahan pada posisi berdirinya. Walau telapak kakinya sudah terasa kebas karena sejak tadi dihujani dengan kalimat menohok oleh Vino, gadis itu tetap di sana dan enggan beranjak seakan bersedia mendengar semua cecar pemuda itu.

Meski tidak berteman sejak kecil, setidaknya Fidelya dan Delima telah mengenal Vino sejak di bangku SMP. Mereka sudah hapal bagaimana sikap cowok itu saat marah. Sesekali dia akan menumpahkan air mata untuk memerotes tanpa memedulikan gendernya seperti saat ini, sesekali laki-laki itu juga akan mengumpat tanpa berpikir panjang, atau bagian yang paling mereka benci, hanya tersenyum dan pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Karena setelah itu, Vino akan mendapatkan sakit kepala yang sangat luar biasa hingga membuat pemuda itu tidak bisa melakukan aktivitasnya.

Bitter As a Medicine [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang