- • Sonata Siblings • -

272 62 118
                                    

'Alice,' tegur kakaknya seraya mendorong kaki Alice menjauh karena wajahnya nyaris tersepak kaki adiknya yang sedang duduk di atas pohon

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

'Alice,' tegur kakaknya seraya mendorong kaki Alice menjauh karena wajahnya nyaris tersepak kaki adiknya yang sedang duduk di atas pohon. 'Bisakah kau diam dan menyimak?'

'Oh, maafkan aku.' Alice menggoyangkan kakinya lagi, lalu kembali duduk bersandar merangkai mahkota bunga di atas ranting pohon yang tebal. 'Tapi aku tidak tertarik memberi perhatian sebuah buku yang tidak memiliki satu pun gambar di dalamnya.'

'Di dunia ini, ada banyak buku yang bagus tanpa gambar.' Sang kakak berucap.

'Di dunia ini, mungkin. Tapi di duniaku, buku-buku tidak akan berisi apa pun kecuali gambar,' kata Alice.

'Duniamu? Huh. Omong-kosong.'

'Omong kosong?' Alice terkesiap. Mahkota bunganya jatuh. Namun, dia tidak peduli dan langsung duduk dari posisi malas-malasan itu dan menggendong kucingnya.

'Itu dia, Dinah!' Dia berseru. 'Jika aku memiliki duniaku sendiri, semuanya akan menjadi omong kosong. Tidak ada yang menjadi "tidak ada apa-apa", karena semuanya akan menjadi "apa-apa". Dan sebaliknya apa yang ada, akan menjadi tidak ada. Dan apa yang tidak akan terjadi, maka akan terjadi. Kau paham?'¹

- • -

"Dan itulah yang membuat kegilaannya dimulai. Dunia itu ciptaannya sendiri. Omong kosong belaka. Itulah kenapa di akhir buku Alice ditemukan sedang tertidur."

Esme bertopang dagu. Kehilangan separuh minat untuk membalik ke halaman berikutnya karena akhirnya dia paham apa yang melatarbelakangi dunia imajinasi itu. Netra safirnya bergulir ke atas begitu laki-laki di depannya bertepuk tangan. Tampak puas mendengar penuturannya. 

Kemudian laki-laki itu bertanya, "Bagaimana versi Disney?"

"Aku lebih suka versi asli," jawab Esme. "Tapi harus kuakui, dialog yang tadi itu mengesankan."

Sambil menghela napas guna menghalau dingin, Esme menutup buku dongeng di hadapannya itu. Puas hati menarik gelas kertas yang masih mengepulkan asap dari tangan laki-laki yang duduk di seberangnya, lalu menukarnya dengan buku bersampul licin di tangannya.

"Kau yang bayar."

Laki-laki di depannya mendengkus geli. "Silakan."

Oh, siapa pun akan paham kalau gadis itu sedang berbangga diri.

Senyum jemawa Esme timbul sebelum menyesap isi gelas kertas, kemudian berganti menjadi lengkungan cemberut yang tidak enak dipandang setelah tahu apa yang dia minum. Kebanggaan dirinya lenyap begitu saja.

"Rasanya sudah berkali-kali aku bilang benci kopi," ketusnya.

"Umur 16 tahun itu gerbang kedewasaan." Si anak laki-laki bertopang dagu. "Sebentar lagi kau pasti bakal mencintai kopi sampai lupa karbohidrat. Aku berani jamin."

ALICE: A Tale From Another WonderlandWhere stories live. Discover now