- • Down The Rabbit Hole • -

139 27 167
                                    

Satu per satu pelanggan memutuskan untuk hengkang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satu per satu pelanggan memutuskan untuk hengkang. Sepertinya menerjang salju adalah opsi dadakan yang lebih baik daripada berlama-lama di dalam kedai sampai terjebak salju, padahal tujuan awalnya hanya untuk berteduh sejenak. Semua orang melakukannya, bahkan tak terkecuali mereka yang makanannya baru habis separuh.

Kedai itu nyaris kosong.

Ruviane menangkap sosok Carol lewat sudut matanya. Wanita itu sempat muncul dengan wajah khawatir di belakang punggung Esme. Tampaknya dia hendak menawarkan bantuan untuk pulang ke rumah di tengah badai salju, juga berniat memberitahu pelanggannya-yang-datang-bersama-rekan-tampan-tapi-gaib itu bahwa kedai akan ditutup lebih awal.

Namun, belum banyak dia mengikis jarak dari si gadis berambut pirang, langkahnya mendadak berhenti akibat pancaran aura yang tidak menyenangkan dari meja tempat pelanggan spesialnya berada.

Akhirnya, tanpa banyak membuang waktu, wanita kurus itu balik kanan sehalus mungkin. Batal mengganggu. Bahkan sampai rambutnya yang ombre ungu itu tidak bergerak sedikit pun, saking pelannya dia berbalik.

Di kursinya, Esmephia Sonata duduk diam membeku. Dia tengah mencerna topik pembicaraannya dengan si pemuda bertopi tinggi yang tiba-tiba berubah wujud di loteng rumah keluarganya.

Ruviane de Anshumant, si tersangka yang membuat Esme duduk tanpa suara, pun sama. Masih di seberang Esme, dia tengah duduk diam dengan satu kaki bertengger di kaki lainnya, berusaha kalem sembari menanti respons pertama si lawan bicara.

Esme akhirnya membuka mulut untuk mengutarakan pertanyaannya yang terdengar cukup skeptis. "Setiap musim di Negeri Ajaib membutuhkan seorang Alice?"

Karena memang begitu adanya, kepala Ruviane terangguk pelan. "Ya. Dan itu artinya ada yang lain selain dirimu," dia menjawab.

Kali ini Esme mengerutkan kening hingga kedua alisnya nyaris menyatu. "Apa maksudnya ada yang lain selain aku?" tanyanya pelan. Mungkin khawatir orang lain mendengarnya.

"Percayalah padaku—Negeri Ajaib tidak sesempit yang kau bayangkan, Nona Sonata. Juga tidak penuh dengan semak belukar dan pepohonan yang kau lihat di televisi." Ruviane mengedikkan bahu. "Percaya atau tidak, satu Alice saja tidak cukup untuk menjalankan negeri yang tidak ada habisnya itu."

Ruviane berani bersumpah bahwa dia sempat melihat ekspresi tidak menyenangkan di wajah Esme.

"Apa itu artinya ada tiga gadis lain yang bernasib sama sepertiku?"

"Tidak persis sama, tapi—"

"Tiba-tiba didatangi orang aneh lalu diberikan berbagai penjelasan absurd tentang dunia fiktif di bawah tanah? Tanpa ada yang peduli masalah apa yang sedang menimpa mereka di dunia nyata?"

Pemuda itu terdiam. Dalam sekejap saja dia mafhum dengan maksud pertanyaan yang terlontar dari mulut Esme. Aha, itu maksudnya.

Ruviane lalu melirik sisa pelanggan yang menoleh ke arah nonanya. Tatapan mereka sama: penasaran, khawatir, dan takut. Bergegas mereka mengangkut barang bawaan kemudian hengkang dari kedai.

ALICE: A Tale From Another WonderlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang