- • One-on-One Talk • -

120 26 80
                                    

Tak terhitung jumlahnya Esme menunduk hanya untuk melihat sepatu orang yang mondar-mandir keluar-masuk kedai makanan

Oops! Bu görüntü içerik kurallarımıza uymuyor. Yayımlamaya devam etmek için görüntüyü kaldırmayı ya da başka bir görüntü yüklemeyi deneyin.

Tak terhitung jumlahnya Esme menunduk hanya untuk melihat sepatu orang yang mondar-mandir keluar-masuk kedai makanan. Hal ini dia lakukan berulang kali dalam rangka mencegah suntuk dalam melaksanakan tugas. Feodora yang mengajarkannya—bahwa sepatu-sepatu modis bisa menjadi sebuah media pembunuh rasa bosan.

Tugasnya kali ini cukup sederhana, yakni menunggu.

Walaupun bukan jenis kegiatan yang dia sukai, tetapi bila selama menunggu pun sudah disuguhi pemandangan sepatu yang indah di mana-mana maka gadis bermata safir itu akan mencoba untuk melaksanakan tugas "menunggu" ini sebaik-baiknya.

Pegal menunduk sampai pita biru pucatnya menjuntai, Esme mendongakkan kepala. Termangu dengan pemandangan kelabu yang Januari walaupun tidak separah awal musim dingin. Sekarang dia mungkin terlihat seperti seorang gadis yang kehilangan rombongan teman, atau malah lepas dari gandengan kekasih.

Entah seperti apa persisnya pandangan para pegawai kedai di dalam sana, yang jelas Ruviane bilang padanya untuk menunggu di luar.

Untuk beberapa alasan, Esme langsung menurut. Penyebabnya karena Ruviane dengan segera berubah wujud dari kelinci menjadi sosok pemuda tinggi bersetelan formal lagi. Wujud Ruviane yang seperti itu belum berani Esme lawan sering-sering. Lain lagi bila yang dihadapinya adalah sosok Kelinci Ruviane yang kecil, empuk, berbulu, dan mudah ditendang dengan satu kaki bila dia macam-macam.

Bukan hanya bentuk fisik, sikap Ruviane juga berubah menjadi sedikit lebih tidak menyenangkan setelah mereka kehilangan jejak orang aneh berjubah hitam tadi.

Barangkali suasana hatinya jadi jelek.

Esme memiliki banyak pertanyaan untuk dijawab, tetapi mata merah rubi Ruviane tampak berkilat sekaligus gelap, alisnya turun dan air wajahnya keruh. Itu bukan ekspresi yang baik, jadi Esme lebih memilih untuk menurut sambil memikirkan satu-dua kemungkinan jawaban atas pertanyaannya sendiri.

Berpikir sebelum bertindak di hadapan orang yang lebih dominan daripada diri sendiri adalah salah satu kebiasaan yang Esme kira patut diapresiasi.

Mungkin ada kenalannya yang sesama makhluk ajaib di dalam sana, pikir gadis itu selama tatapannya terpaku pada ujung sepatu. Jangan kaget, jangan heran, jangan banyak tanya.

Untuk yang kesekian kalinya, pintu kedai terbuka. Suara sol sepatu menghantam lantai terdengar jelas di telinga Esme. Arahnya semakin mendekat, kemudian tiba-tiba berhenti.

"Yang ini gadis barumu?"

Esme menoleh. Agak kaget ketika bersitatap dengan seorang wanita kurus tinggi berpakaian kasual tengah menatapnya lurus-lurus. Ada apron hitam yang terkalung di lehernya, lengkap dengan logo kedai di sudut kanan atas apron. Rambutnya dikucir berantakan, menampakkan lehernya yang panjang. Ujung rambutnya lurus tanpa cela, sewarna arang dengan highlight ungu. Di atas segalanya, yang paling mencolok di mata Esme adalah eyeliner tajam di bawah matanya yang sehijau hutan—dan menatapnya dengan tajam pula.

ALICE: A Tale From Another WonderlandHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin