01

11.7K 762 22
                                    

Aku menyatakan cintaku pada kakak.
Berulang kali. Begitu mendamba dan terus menahan diri. Aku tidak marah saat kakak malah tertawa lalu mengatakan bahwa candaanku sangat lucu. Aku tidak menyerah saat kakak malah menyuruhku berhenti bercanda karena ia sangat sibuk.

Aku tidak bisa marah padanya. Aku hanya akan tersenyum, menatapnya dalam diam lalu akan kembali mengatakan hal yang sama.

Walau jauh di dalam otakku, aku tengah mengikat masing-masing kedua tangan juga kakinya dikamar milikku. Membuatnya tersenyum dan menangis bersamaan. Mengurungnya untukku sendiri.

Betapa hari itu ku nanti.

Nyatanya menahan diri bukanlah hal yang paling ku suka. Itu membuat sesuatu dalam diriku semakin besar dan hendak meledak. Sudah cukup lima tahun lebih aku menahannya.

Aku mulai mencari simpati. Menarik perhatiannya dengan banyak tingkah. Membuatnya marah adalah tujuanku. Seperti saat ini. Hari dimana segala hal gila milikku akan ia ketahui. Hari yang sangat ku nanti.

Aku mengukir namanya didada kiriku. Tepat dimana jantung berada. Dengan sengaja aku melepas baju dihadapannya. Bertingkah polos hingga tiba-tiba dadaku di dorong kasar.

Terlalu kasar, sayang.

" Apa maksud kamu?! Dean! Apa ini?! Sejak kapan kamu buat tato? Huh? "
Aku tersenyum tipis saat dadaku kembali di dorong. " Begitu inginnya kamu merusak tubuh? Iya? Tindik! Kakak hanya diam. Kamu sering keluyuran tak  jelas? Kakak tetap diam! "

Dia marah. Apa sangat sakit sayang? Air matanya tiba-tiba luruh saat maniknya yang biasa lembut melempar tatapan kecewa padaku. Jantungku maraton. Kakak sangat cantik. Ayo, sayang, keluarkan ekspresi indahmu lagi.

Surainya diusak kasar. Aku tetap diam dengan tatapan datar saat kakak terus menangis. " Dean, kakak salah apa sama kamu? Kenapa kamu jadi begini?! "

" Aku cinta sama kakak. "

" Cukup Dean! " Dia melotot marah. Kedua tangan kecilnya memukuli dadaku brutal. " Kakak tidak suka kamu terus bercanda! Kakak tidak suka! "

Dia terus mengatakan hal yang sama. Aku mulai muak. Tangan-tangan kecil itu ku genggam erat. Menarik tubuhnya, pinggulnya yang ku dambakan dengan telak mampu ku genggam.

" Dean, lepas! Lep-"

" Kenapa kakak marah? Hm? " Aku memiringkan kepala saat kakak menatapku takut. " Kak, aku selalu sabar. Kakak selalu bilang bahwa candaan adiknya sangatlah lucu. Bagaimana jika aku melempar kakakku sendiri ke ranjangku? "

Aku tersenyum. " Apa itu masih lucu? Sayang? "

Tersenyum puas. Aku menyeringai saat kakak tampak tegang setelah menahan nafas. Tubuhnya mulai memberontak saat pinggulnya ku jerat lebih erat. " Kak, kenapa kakak tak bisa percaya? Aku sedih. Apa kakak kira aku bohong? Main-main? "

Air matanya jatuh lagi. Dia menggeleng keras seolah menampik fakta apa yang baru saja ia dengar. Pipinya ku tangkup, kakak terisak dengan tubuh bergetar saat kening dan pipinya ku ciumi. Oh, sayang. Betapa aku ingin melakukan ini.

" Dean, kamu tidak boleh begini. Tidak boleh.. " Kakak menangis keras disaat pipiku ditangkup. Aku malah tersenyum lebar. Mataku berbinar saat kakak terus menggeleng dengan kedua tangannya dipipiku.

" Salah, Dean.. Salah. "

" Kita bisa coba sama-sama kan? "

Kakak menahan nafas disana. Maniknya yang merah menyorot sendu padaku. Aku tersenyum semakin lebar. Mengangguk dengan binar mendamba saat kakak lagi-lagi menggeleng.

" Dean-"

" Lima tahun, Kak. Aku tak bisa lagi menahan perasaan ini. Aku cinta sama kakak. Apa yang salah, hm? " Aku memiringkan kepala. Pipinya ku usap lembut walau terang-terangan kakak memalingkan wajah. Aku tahu dia menangis lagi.

" Kita hidup bersama, kenapa kita tak bisa saling mencintai? "

Kakak mendongak marah. Aku lihat dengan jelas kedua tangannya mengepal didadaku. Sebelum maniknya menyorot ukiran namanya didadaku dengan pancaran mata tak terbaca. Dadaku diusap, aku menggigiti bibir merasakan betapa lembut jari-jarinya.

" Lana? " Kakak membeo. Tangannya masih mengusap-usap ukiran bertinta hitam dengan lambang cinta kecil diatasnya. Air matanya luruh kembali.

" Kamu gila, Dean! Aku kakakmu! Astaga, Tuhan! " Dia mendorongku lalu memegangi kepala seolah beban berat baru saja menimpanya.

Kakak berjongkok seolah kakinya lemas untuk berdiri. Aku tetap diam bahkan saat kakak tengah memukuli kepalanya sendiri.

" Salah, Dean! Salah! Jangan begini, aku mohon padamu! "

" Aku boleh! " Tubuhnya ku goncangkan. Kakak tampak lemah dalam rengkuhanku. Kepalanya ku kecup, ku usap surainya penuh sayang. " Kak, kita sudah sama-sama dewasa. Perasaanku tidak pernah salah. Kita bisa-"

" Diam, Dean! Jangan gila! "

" Aku memang sudah gila! " Matanya menyipit. Air matanya lagi-lagi membanjiri pipi. Ku kecupi wajahnya yang merah penuh kelembutan. " Sayang, jantungku hampir meledak. "

Tubuh kecil itu ku peluk erat-erat. Lehernya ku cumbui hingga dahagaku akan harum tubuhnya terasa puas. " Kak, jawab 'ya', setelah itu mari hidup dengan cinta yang indah. "

Hari itu kukira kakak akan setuju. Aku berakhir diam setelah ditampar lalu ditinggalkan begitu saja. Kakak marah besar hingga dia bertingkah ketus dan acuh padaku.

Aku hanya tersenyum. Menatapinya. Memikirkan banyak ide gila lain agar apa yang ku mau tergenggam erat ditanganku.

Sayang, kamu mulai berani dan tidak tahu diri. Apa aku terlalu lembut? Haruskah tubuhmu ku ikat diranjangku? Ku pasung ditempat yang ku inginkan?

Aku gila. Sekali hal itu terucap maka benar adanya. Jika kakak berfikir aku akan berhenti maka itu salah besar. Bagiku, semakin mangsa sulit ku raih, aku akan semakin cepat menggejar.














______________________________________

MINE, HONEY!

I'M Obsessed[OnGoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang