Terenggutnya Mahkota

18 1 0
                                    

Kala mentari mulai menampakkan diri. Sinarnya menelusup di sela-sela kaca. Menyibak selimut di kala duka. Memancarkan sinar keemasannya. Indah nan menyilaukan.

Nilai hidup bukan milik semua yang terbuka matanya, kecewa dalam setiap nafas yang tercekat dalam hati, tangisan pilu menyayat hati.

Menyusut di sudut relung jiwa. Tersuruk menempel hingga meninggalkan bekas yang membuat pilu dan rapuh sang pemilik jiwa.

Tak pernah menyadari arti hadirnya. Pengorbanan yang tak pernah teranggap. Hingga rinai air mata tak pernah punya arti untuknya. Tiada arti di sini karena tak pernah sedikit pun mengharapkannya.

***

Sudah sedikit siang sekitar pukul 8 pagi. Amirah menggeliat, betapa kagetnya dia berada di ranjang king size milik Abizar suaminya.

"Sebentar, bukankah tadi malam aku tidur di kasur lantai milikku, dan sekarang kok bisa pindah di ranjang ini," batinnya bingung.

Amirah melihat ada handuk di samping bantalnya. "Mungkin bekas kompres tadi malam," pikirnya.

Kepalanya masih berdenyut, panas di tubuhnya masih sedikit terasa, meskipun tidak sepanas tadi malam, tapi badannya masih meriang, Amirah mencoba untuk turun dari ranjang, takut di hatinya bila Abizar tahu kalau dirinya tidur di ranjang kesayangan Abizar.

Baru saja menurunkan kakinya, tubuhnya tidak kuat menopang kakinya, kepalanya berdenyut dan tubuhnya lemas, Amirah mencoba duduk kembali, membaringkan tubuhnya di ranjang, Amirah tidak peduli kalau Abizar marah padanya.

"Biarkan saja pak dokter marah, karena aku tidur di ranjangnya, aku gak peduli, toh, dibuat gerak saja tubuhku lemas sekali, untuk marahnya pak dokter biar diurus belakangan, yang penting aku harus istirahat dulu, aku harus cepat sembuh," lirih Amirah.

Tok ... Tok ...Tok ....

Pintu kamar diketuk. Amirah pura-pura tidur, takut yang datang Abizar, karena Amirah belum siap untuk mendengar ocehan dan luapan amarah dari dokter sombong itu.

"Non Amirah belum bangun?" tanya bik Na.

Ternyata yang datang bukan Abizar melainkan bik Na, sambil membawakan bubur, susu, air putih beserta obat untuk Amirah yang diletakkan di nampan.

Amirah pura-pura menggeliat.

"Oo bik Na, ada apa bik?"

"Non Amirah sudah sembuh?"

"Badanku masih lemes, meriang dan kepalaku masih berdenyut bik," jawabnya memelas.

"Iya non, untung tadi malam den Abizar mengompres non Amirah, setelah memeriksa non, den Abizar menyuruh bibik membawakan air dan handuk untuk mengompres non," ungjap bik Na menceritakan kejadian semalam.

"Jadi pak dokter yang sudah mengompresku tadi malam," batinnya, ada perasaan senang karena Abizar juga memikirkan kesehatannya dan merawatnya sendiri tadi malam.

"Apa yang memindahkanku tadi malam juga pak dokter, ya?" pikirnya dalam hati sambil senyam senyum sendiri.

"Lo non Amirah kok malah senyam senyum sendiri , hayoo lagi mikir apa?" ucap bik Na menggoda.

"E-enggak kok, Bik," ucapnya terbata malu rasanya.

"Sini bibik suapin buburnya, tadi den Abizar sebelum berangkat ke rumah sakit berpesan supaya non minum obat ini," ucap bik Na sambil menunjuk nampan yang bik Na pegang.

"Tidak apa-apa bik biar aku makan sendiri," tolaknya secara halus karena merasa tidak enak pada bik Na.

"Badan non Amirah masih bergetar gitu, biarin Bibik suapin aja, ya!" ucap bik Na sedikit memerintah.

KETULUSAN HATI AMIRAHOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz